Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Facebook Papers, Mengungkap Sisi Negatif Raksasa Media Sosial

Facebook Papers, Mengungkap Sisi Negatif Raksasa Media Sosial Ilustrasi Facebook. ©2016 Merdeka.com

Merdeka.com - Proyek Facebook Papers menunjukkan kolaborasi unik 17 organisasi media berita Amerika, termasuk The Associated Press (AP). Para jurnalis dari beragam newsroom, besar atau kecil, bekerja bersama untuk mendapatkan akses ke ribuan halaman dokumen internal perusahaan yang diperoleh Frances Haugen, mantan manajer produk Facebook yang menjadi pembocor rahasia.

Konsorsium terpisah media berita Eropa telah memiliki akses ke dokuman yang sama, dan anggota kedua kelompok mulai menerbitkan konten yang berkaitan dengan analisis mereka terkait materi tersebut pada Senin (25/10).

Jadwal penerbitan tersebut diatur oleh rekan organisasi berita untuk memberikan siapapun dalam konsorsium itu kesempatan untuk menganalisis penuh dokumen tersebut, memaparkan rincian-rincian yang relevan, dan memberikan waktu yang cukup bagi staf humas Facebook untuk merespons pertanyaan-pertanyaan dan penyelidikan yang dipicu laporan tersebut.

Setiap anggota konsorsium melakukan pelaporan independennya sendiri tentang isi dokumen dan signifikansinya. Setiap anggota juga berkesempatan mengikuti pemaparan kelompok untuk mendapatkan informasi dan konteks tentang dokumen tersebut.

Peluncuran proyek Facebook Papers ini menyusul laporan yang sama oleh The Wall Street Journal, bersumber dari dokumen yang sama, termasuk kemunculan Haugen di acara “60 Minutes” stasiun televisi CBS dan kesaksiannya pada 5 Oktober di hadapan subkomite Senat AS.

Dokumen itu sendiri adalah versi yang telah disunting oleh Haugen selama beberapa bulan untuk diserahkan kepada Komisi Sekuritas dan Bursa (SEC), dia menuduh Facebook memprioritaskan keuntungan daripada keamanan dan menyembunyikan penelitiannya sendiri dari investor dan publik.

Keluhan-keluhan ini mencakup berbagai topik, mulai dari upaya perusahaan itu untuk terus memperbesar audiensnya, hingga bagaimana platformnya dapat membahayakan anak-anak, termasuk dugaan perannya dalam menghasut kekerasan politik. Versi yang sama dari dokumen itu diberikan kepada anggota Kongres sebagai bagian dari penyelidikannya.

Dan proses itu berlanjut saat tim hukum Haugen menjalani proses penyuntingan dalam dokumen yang disampaikan kepada SEC dengan menghapus nama pengguna Facebook dan karyawan tingkat bawah dan menyerahkannya ke Kongres.

Konsorsium Facebook Papers akan terus melaporkan dokumen-dokumen ini karena akan lebih banyak tersedia dalam beberapa hari dan pekan mendatang.

“AP secara teratur bekerja sama dengan organisasi berita lain untuk membawa jurnalisme penting ke dunia,” kata wakil presiden senior dan editor eksekutif AP, Julie Pace, dikutip dari laman AP, Selasa (26/10).

“Proyek Facebook Papers sejalan dengan misi itu. Dalam semua kolaborasi, AP mempertahankan independensi editorialnya.”

Gagal kendalikan konten ujaran kebencian

Salah satu yang disorot dalam dokumen yang bocor itu adalah perjuangan terus-menerus Facebook dalam menghentikan konten kasar berisi ujaran kebencian dan propaganda anti-Muslim di India.

Ketegangan komunal dan agama di India memiliki sejarah yang dipicu percikan hasutan di media sosial dan berujung kekerasan atau kerusuhan.

Facebook Papers mengungkapkan, perusahaan tersebut menyadari masalah itu selama bertahun-tahun, menimbulkan pertanyaan apakah mereka telah bertindak cukup untuk mengatasi masalah ini.

Banyak kritikus dan pakar digital menilai Facebook gagal, terutama dalam kasus kekerasan yang melibatkan anggota Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa di bawah Perdana Menteri Narendra Modi.

Modi dituding memanfaatkan platform tersebut untuk keuntungan partainya selama pemilihan, dan laporan The Wall Street Journal tahun lalu meragukan apakah Facebook secara selektif menegakkan kebijakannya soal ujaran kebencian untuk menghindari pukulan balik dari BJP.

Dokumen yang bocor termasuk sejumlah laporan internal perusahaan tentang ujaran kebencian dan misinformasi di India. Dalam beberapa kasus, sebagian besar dipicu fitur dan algoritma "yang direkomendasikan" sendiri Facebook.

Tetapi mereka juga memasukkan kekhawatiran staf perusahaan atas kesalahan penanganan masalah ini dan ketidakpuasan mereka yang diungkapkan tentang "konten buruk" viral di platform tersebut.

Menurut dokumen tersebut, Facebook melihat India sebagai salah satu "negara paling berisiko" di dunia dan mengidentifikasi bahasa Hindi dan Bengali sebagai prioritas untuk "otomatisasi pelanggaran ucapan permusuhan". Namun, Facebook tidak memiliki cukup moderator bahasa lokal atau penandaan konten untuk misinformasi yang terkadang mengarah pada kekerasan di dunia nyata.

Dalam sebuah pernyataan kepada AP, Facebook mengatakan pihaknya “berinvestasi besar dalam teknologi untuk menemukan ujaran kebencian dalam berbagai bahasa, termasuk Hindi dan Bengali” yang telah menghasilkan “pengurangan jumlah ujaran kebencian yang dilihat orang hingga setengahnya” pada tahun 2021.

“Ujaran kebencian terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan, termasuk Muslim, sedang meningkat secara global. Jadi kami meningkatkan penegakan dan berkomitmen untuk memperbarui kebijakan kami saat ujaran kebencian berkembang secara online,” jelas juru bicara Facebook, dikutip dari Al Jazeera, Senin (25/10).

(mdk/pan)
ATAU
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
4 Februari Hari Ulang Tahun Facebook, Ini Sejarah dan Perkembangannya

4 Februari Hari Ulang Tahun Facebook, Ini Sejarah dan Perkembangannya

Facebook menjadi jejaring sosial terbesar di dunia.

Baca Selengkapnya
Sehari Saja Facebook & Instagram Down, Bikin Kekayaan Mark Zuckerberg Anjlok Segini

Sehari Saja Facebook & Instagram Down, Bikin Kekayaan Mark Zuckerberg Anjlok Segini

Facebook, Instagram, dan Threads punya dampak besar bagi Mark Zuckerberg jika mengalami gangguan.

Baca Selengkapnya
Ada Indonesia, Ini Daftar Negara yang Rakyatnya Paling Banyak Tak Dapat Akses Internet

Ada Indonesia, Ini Daftar Negara yang Rakyatnya Paling Banyak Tak Dapat Akses Internet

Berikut adalah laporan dari We Are Social yang memotret kondisi internet di seluruh dunia.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Instagram dan Facebook 'Down', Netizen Curhat di Twitter

Instagram dan Facebook 'Down', Netizen Curhat di Twitter

Tampilan pesan bertuliskan "Something went wrong" di laman utama disertai dengan tombol "Reload page".

Baca Selengkapnya
Sempat Down, Instagram dan Facebook Kini Telah Pulih

Sempat Down, Instagram dan Facebook Kini Telah Pulih

Pengguna mengeluhkan tidak bisa mengakses Instagram untuk beberapa waktu.

Baca Selengkapnya
Media Sosial: Kekuatan Tersembunyi yang Mempengaruhi Pemilih di Pemilu 2024

Media Sosial: Kekuatan Tersembunyi yang Mempengaruhi Pemilih di Pemilu 2024

Data tahun 2023, pengguna media sosial di Indonesia sudah mencapai 167 juta orang.

Baca Selengkapnya
Cara Mudah Mengidentifikasi Orang yang Putus Asa dan Ingin Mengakhiri Hidupnya

Cara Mudah Mengidentifikasi Orang yang Putus Asa dan Ingin Mengakhiri Hidupnya

Ada juga orang yang putus asa dengan menuliskan di media sosialnya untuk mencurahkan isi hati.

Baca Selengkapnya
Akademisi Nilai Menjatuhkan Calon Lain Malah Jadi Budaya Dibanding Tonjolkan yang Didukung

Akademisi Nilai Menjatuhkan Calon Lain Malah Jadi Budaya Dibanding Tonjolkan yang Didukung

Hal ini bisa dilihat langsung di media sosial, banyak yang melakukan framing pihak lawan dengan citra negatif.

Baca Selengkapnya
Jenis-jenis Artikel, Tujuan, Ciri, dan Strukturnya

Jenis-jenis Artikel, Tujuan, Ciri, dan Strukturnya

Artikel adalah sebuah karangan yang berisi fakta dan opini, ditulis untuk dipublikasikan di media cetak atau media online.

Baca Selengkapnya