Aktivis HAM Kritik UU Separatisme Prancis karena Targetkan Komunitas Muslim
Merdeka.com - Pada 2 Oktober tahun lalu, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan UU melawan apa yang dia sebut “separatisme Islam” bertujuan untuk mengatasi gerakan “radikal” di negara tersebut.
Dia menyebut Islam sebagai agama yang sedang dalam krisis secara global, yang memicu kecaman internasional.
Para kritikus mengatakan usulan UU itu akan semakin menstigmatisasi 5,7 juta komunitas Muslim di negara itu - tidak hanya individu-individu yang diduga menjadi targetnya - dan merupakan bagian dari tindakan keras yang lebih luas terhadap kebebasan sipil.
Pada 4 Februari, majelis rendah Prancis mendukung RUU tersebut. Pemungutan suara oleh anggota parlemen diperkirakan berlangsung pekan depan.
Majelis Nasional saat ini sedang memilah 1.860 usulan amandemen UU kontroversial, termasuk perluasan larangan jilbab pada mahasiswa dan larangan pemakaian simbol agama oleh orang tua saat tamasya sekolah.
Legislasi yang nama resminya adalah RUU Penghormatan terhadap Asas Republik, menjadi subjek perdebatan sengit masyarakat sipil dan di antara para politikus.
“Saya tidak mengerti bagaimana ini akan membantu menghentikan terorisme,” ujar pengacara kelompok HAM Collective Against Islamophobia in France (CCIF), Ouadie Elhamamouchi, dikutip dari Al Jazeera, Jumat (12/2).
CCIF sendiri dipaksa untuk pindah setelah pemerintah Prancis menuding kelompok ini "radikal" dan memerintahkan penutupannya selama tindakan keras terhadap dugaan "separatisme". Kelompok HAM mengecam tindakan terhadap CCIF, dinilai memperparah iklim Islamofobia.
Menurut Elhamamouchi, jika RUU tersebut disahkan, pemerintah akan melegitimasi pendapat xenofobia oleh kelompok sayap kanan Prancis.
“Itu akan mengipasi api kelompok kanan,” ujarnya.
“Itu akan menjadi serangan bagi kebebasan publik. Itu tidak adil. UU itu menjadi wacana yang sangat mengkhawatirkan dan Muslim Prancis akan menderita.”
Pertaruhan Macron
Langkah-langkah yang disepakati untuk UU separatisme termasuk sanksi untuk ujaran kebencian daring, kontrol yang lebih ketat pada homeschooling, pembatasan sumbangan untuk kelompok agama dari luar negeri, dan persyaratan untuk semua asosiasi di Prancis yang menerima dana publik untuk menandatangani kontrak yang berjanji untuk menghormati nilai-nilai Republik.
Yang terakhir, akan memungkinkan asosiasi lebih mudah dihapuskan, ditentang oleh Liga Hak Asasi Manusia Prancis.
Ketua partai sayap kiri La France Insoumise, Jean-Luc Melenchon, menyampaikan keprihatinannya selama pembahasan awal UU separatisme.
“Teks ini tidak berguna, itu berbahaya,” ujarnya.
Analis politik Prancis mengatakan upaya pemerintah untuk segera memberlakukan RUU di tengah pandemi karena adanya pemilihan presiden tahun depan.
Menurut Philippe Marliere, profesor ilmu politik di University College London, ini adalah pertaruhan bagi Macron.
"Untuk fokus pada jenis masalah - yang disebut ancaman teroris yang ditimbulkan oleh ekstremis - Macron berpandangan bahwa ini akan mengirimkan pesan kepada publik bahwa hal itu akan mengekang pengaruh sayap kanan."
Ancaman sayap kanan disorot bulan lalu ketika jajak pendapat oleh surat kabar Prancis Le Parisien menempatkan tokoh sayap kanan Marine Le Pen dan Macron hampir bersaing ketat dalam popularitas, masing-masing sebesar 48 persen dan 52 persen.
Marliere mengatakan, menggemakan retorika nasionalis sayap kanan dapat memperkuat kecenderungan kelompok aktivis Islamofobia seperti Generation Identity, sebuah gerakan anti-imigran yang dikenal berpatroli di perbatasan Prancis.
“Itu adalah permainan yang sangat berbahaya yang dia mainkan,” kata Marliere.
“Itu hanya akan memperkuat Le Pen dan melegitimasi idenya. Sejarah menunjukkan jika Anda mengikuti kelompok paling kanan, satu-satunya pihak yang diuntungkan adalah kelompok paling kanan.”
Sasar kelompok Muslim
Menurut peneliti dari Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Prancis, Sarah Mazouz, RUU ini akan memperkenalkan kontrol yang lebih keras pada lebih banyak domain masyarakat.
Dia mengatakan kebebasan pers juga terancam dan ada upaya untuk membatasi penelitian universitas karena dugaan “Islamo-gauchisme” di kampus - istilah merendahkan yang diciptakan oleh sayap kanan Prancis sehubungan dengan dugaan aliansi politik antara kaum kiri dan Muslim garis keras.
“Jelas, Muslim menjadi sasaran hukum ini,” kata Mazouz.
“Ini menyebabkan kaburnya antara Islam dan Islamisme radikal, antara Muslim dan Islamis yang kejam. Itu mengaktifkan kembali kecemasan Muslim Prancis. "
Sampai berita ini diterbitkan, Kementerian Dalam Negeri Prancis belum menanggapi permintaan komentar Al Jazeera.
(mdk/pan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai situasi konflik dan kekerasan di Papua semakin mencederai HAM.
Baca SelengkapnyaMasyarakat jangan mudah terpapar informasi hoaks dan ujaran kebencian yang dapat memicu konflik.
Baca SelengkapnyaKetua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjelaskan alasan dirinya kini memuji pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Masyarakat memiliki ketahanan lebih terhadap narasi kebangkitan khilafah karena lebih percaya organisasi seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.
Baca SelengkapnyaJangan sampai dimanfaatkan untuk menyebarkan narasi intoleransi, bahkan mengarah pada aksi radikal terorisme.
Baca SelengkapnyaDi tengah upaya membumikan toleransi pada keberagaman, kelompok radikal melakukan framing terhadap moderasi beragama.
Baca SelengkapnyaDemokrat menilai wacana koalisi 01 dan 03 menggulirkan hak angket sama artinya dengan tak menghargai suara rakyat.
Baca SelengkapnyaSebuah organisasi besar yang berhaluan Syafii Asy'ari ini berubah menjadi partai politik golongan kaum tua untuk menandingi gencarnya gerakan kaum muda.
Baca SelengkapnyaMemperkuat toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Masyarakat tidak boleh semena-mena melanggar hak dari mereka yang dianggap berbeda.
Baca Selengkapnya