Abraham Accord: Kemenangan Israel dan Palestina yang Ditinggalkan Negara-Negara Arab
Merdeka.com - Sebuah kesepakatan penting ditandatangani oleh Israel dengan dua negara Arab yang akan menandai era baru di kawasan itu. Uni Emirat Arab (UEA) dan Bahrain membuka pintu mereka dengan menormalisasi penuh hubungan diplomatik dengan Israel. Lantas bagaimana nasib Palestina dengan solusi dua negara yang selama ini diperjuangkan?
Selasa, 15 September 2020 akan tercatat dalam sejarah, UEA dan Bahrain menjadi negara Arab ketiga dan keempat yang memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Israel mengikuti jejak Mesir (1979) dan Yordania (1994). Di depan kerumunan beberapa ratus orang di halaman Gedung Putih, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menandatangani perjanjian dengan Menteri Luar Negeri Emirat Sheikh Abdullah bin Zayed al-Nahyan dan Menteri Luar Negeri Bahrain Abdullatif Al Zayani. Demikian seperti dikutip dari laman Reuters.
Bagi UEA dan Israel, penandatanganan ini menjadi formalitas atas hubungan kedua negara yang dalam beberapa tahun terakhir sudah terjadi di 'bawah meja'.
Sementara untuk Presiden Donald Trump, kesepakatan yang dia sebut dengan Abraham Accord - diambil dari nama ayah para nabi dari agama monoteistik yang bermula di Timur Tengah - Yudaisme, Kristen, dan Islam - menjadi modal kuat jelang pemilihan presiden awal November mendatang.
Bertemu Netanyahu sebelumnya di Oval Office, Trump berkata, "Kami akan memiliki setidaknya lima atau enam negara berikutnya untuk membuat kesepakatan mereka sendiri dengan Israel."
Bahkan, Trump mengklaim kepada wartawan bahwa Arab Saudi, akan mencapai kesepakatan dengan Israel "pada waktu yang tepat".
Mengubah Arah Sejarah
Penandatanganan tersebut memberi Trump dorongan yang berharga ketika dia mencoba untuk mempertahankan kekuasaan dalam pemilihan presiden 3 November.
"Kami di sini siang ini untuk mengubah arah sejarah," kata Trump dari balkon Gedung Putih.
Trump menyebut kesepakatan itu sebagai "langkah besar di mana orang-orang dari semua agama dan latar belakang hidup bersama dalam damai dan kemakmuran" dan menyatakan bahwa tiga negara Timur Tengah "akan bekerja sama, mereka berteman."
Bagi Trump, kesepakatan tiga negara itu menandai kemenangan politik luar negerinya. Selain Israel dan negara Arab, Trump berupaya menyelesaikan masalah nuklir Korea Utara dengan dua kali bertemu Kim Jong-un namun hingga kini belum ada kemajuan yang berarti.
Di sisi lain, menyatukan Israel, UEA, dan Bahrain mencerminkan keprihatinan bersama mereka tentang meningkatnya pengaruh Iran di kawasan dan pengembangan rudal balistik.
Ketiga pemimpin Timur Tengah itu memuji perjanjian tersebut dan peran Trump dalam istilah yang cemerlang, dengan Netanyahu mengatakan hal itu memberi harapan kepada "semua orang Abraham."
Palestina Ditinggalkan?
Pejabat UEA dan Bahrain sama-sama berusaha meyakinkan Palestina bahwa negara mereka tidak meninggalkan mereka atau upaya mereka untuk menjadi negara di Tepi Barat dan Jalur Gaza, meskipun kepemimpinan Palestina telah mengecam kesepakatan itu sebagai pengkhianatan terhadap perjuangan mereka.
Sebagai tanda bahwa perselisihan regional pasti akan berlanjut sementara konflik Israel-Palestina masih belum terselesaikan, militan Palestina menembakkan roket dari Gaza ke Israel selama upacara tersebut, kata militer Israel.
©Reuters
Layanan ambulans Magen David Adom Israel mengatakan paramedis merawat dua pria karena luka ringan akibat kaca yang beterbangan di Ashdod, dan empat lainnya mengalami syok.
"Ini bukan perdamaian, ini adalah penyerahan sebagai imbalan atas kelanjutan agresi," tulis tweet yang diposting di akun Twitter Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).
"Tidak akan ada perdamaian sebelum Palestina merdeka."
UEA sebelumnya mengklaim kesepakatan itu sebagai imbalan bagi Israel yang setuju untuk "menangguhkan" rencana untuk mencaplok (aneksasi) sebagian besar wilayah Tepi Barat yang diduduki.
"Perdamaian ini adalah perubahan yang penuh harapan dan menarik, yang membuat kami merasa lebih terhubung dengan kawasan ini dan tidak terlalu dibatasi," kata Hend Al Otaiba, direktur komunikasi strategis di Kementerian Luar Negeri UEA seperti dilansir Al Arabiya, Kamis (3/9) lalu.
"Kami memiliki perasaan di sini di UEA untuk bergerak maju, membuat perubahan dengan cara kami sendiri daripada menunggu perubahan datang kepada kami," tambahnya.
Al Otaiba mengatakan "dimensi baru" telah terbuka untuk UEA sejak perjanjian, yang dikenal sebagai Abraham Accord, pertama kali diumumkan pada 13 Agustus lalu oleh Presiden Trump di Gedung Putih.
"Saya yakin penyesuaian hubungan akan sangat alami. Baik UEA dan Israel siap untuk itu, dan kedua negara dinamis, masyarakat global yang memandang ke depan ingin membuat perubahan positif di banyak bidang. Perubahan terbesar bukanlah interaksi sehari-hari, tapi apa yang akan kita raih bersama untuk masa depan," tambahnya.
Meski untuk sementara bisa menunda rencana Israel memperluas permukiman di wilayah Palestina yang dicaploknya, Abraham Accord itu tidak sama sekali menyinggung soal nasib Palestina.
Apalagi, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan dia masih berkomitmen untuk melanjutkan pendudukan wilayah tersebut di masa depan. Bagi Netanyahu, ini juga menjadi angin segar di tengah krisis pemerintahannya diguncang demo desakan mundur karena kasus korupsi.
Sikap AS juga demikian, yang menolak untuk mengklarifikasi berapa lama Israel akan menangguhkan pencaplokan tanah Palestina di Tepi Barat sebagai bagian dari kesepakatan ini atau dalam keadaan apa AS akan mendukung Netanyahu kembali ke rencananya.
"Di suatu tempat antara waktu yang lama dan waktu yang singkat. Itulah arti sementara," dalih Jared Kushner, penasihat senior Gedung Putih yang bertanggung jawab atas proses perdamaian Israel-Palestina. Kushner sendiri merupakan menantu Presiden Trump.
Nasib Solusi Dua Negara
Keputusan UEA dan Bahrain ini menimbulkan kekecewaan besar bagi rakyat Palestina. Perdana Menteri Mohammed Ishtayeh menyampaikan pemerintah akan memberikan sebuah rekomendasi kepada Presiden Mahmoud Abbas untuk mempertimbangkan kembali hubungan dengan Liga Arab.
"Liga Arab telah menjadi simbol kelambanan negara Arab," cetus Ishtayeh dalam rapat kabinet mingguan pada Senin, dikutip dari Aljazeera, Selasa (15/9).
Pekan lalu, rapat tingkat menteri Liga Arab gagal mengadopsi usulan Palestina untuk mengecam perjanjian normalisasi hubungan UEA-Israel. "Selasa akan menjadi hari gelap dalam sejarah bangsa Arab dan sebuah kekalahan institusi Liga Arab," tegas Ishtayeh.
©Reuters
Selama ini, Palestina mengandalkan negara-negara Arab untuk memperjuangkan berdirinya negara mereka dan bebas dari pendudukan Israel. Negara-negara Arab sebelumnya menolak mengakui dan memiliki hubungan diplomatik dengan Israel sebelum mereka menarik pasukan dari Tepi Barat dan Gaza yang diduduki selama puluhan tahun.
Terlepas dari tanda-tanda pergeseran dukungan Arab, Saeb Erekat, Sekretaris Jenderal Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), mengatakan strategi yang mendasari Palestina untuk mencapai sebuah negara di Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza tidak akan berubah.
"Untuk tetap pada dasar hukum internasional, legalitas internasional, untuk mencari perdamaian berdasarkan penghentian pendudukan Israel dan solusi dua negara ... kita tidak dapat meninggalkan alun-alun ini," katanya kepada Reuters.
Meski mengakui kesulitan yang dihadapi oleh kepemimpinan Palestina di bawah pendudukan Israel, namun para analis mengatakan Abbas memang memiliki beberapa pilihan.
Setelah bertahun-tahun pertikaian antara dua faksi utama Palestina, Fatah dari Abbas dan Hamas, pemilu yang telah lama tertunda akan menyegarkan kembali mandat presiden dan parlemen dan meningkatkan pengaruh mereka di luar negeri dengan meningkatkan legitimasi mereka di dalam negeri, kata para analis.
"Kami perlu membangun kembali institusi PLO dari bawah ke atas dan memperkuat hubungan antara Palestina di sini dan di diaspora," kata analis Gaza, Talal Okal.
Lebih dari enam juta diaspora Palestina, katanya, "dapat mempengaruhi komunitas tempat mereka tinggal sehingga perjuangan Palestina memiliki tempat dalam agenda pemerintah tuan rumah mereka."
(mdk/bal)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
AS Akhirnya Akui Hamas Tak Bisa Dihancurkan, Ini Alasannya
AS Akhirnya Akui Hamas Tak Bisa Dihancurkan, Ini Alasannya
Baca SelengkapnyaApakah Jepang Mendukung Palestina? Simak Ulasannya
Merebaknya konflik Israel-Palestina memunculkan pertanyaan mengenai pada sisi mana negara-negara lain berpihak.
Baca SelengkapnyaAS dan Negara Arab Punya Kejutan Soal Masa Depan Konflik Palestina-Israel, Diumumkan Sebelum Ramadan
AS dan Negara Arab Punya Kejutan Soal Konflik Palestina-Israel, Diumumkan Sebelum Ramadan
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Iran Akui Serangan ke Israel Balasan Atas Penyerangan Konsultan di Suriah
Iran Akui Serangan ke Israel Balasan Atas Penyerangan Konsultan di Suriah
Baca SelengkapnyaSaudi, UEA, dan Yordania Bantu Israel Lewati Blokade Yaman di Laut Merah
Saudi, UEA, dan Yordania Bantu Israel Lewati Blokade Yaman di Laut Merah
Baca SelengkapnyaIsrael Umumkan Tarik Mundur Ribuan Pasukan dari Gaza, Ternyata Ini Alasannya
Israel Umumkan Bakal Tarik Mundur Ribuan Pasukan dari Gaza, Ternyata Ini Alasannya
Baca SelengkapnyaBermakna Negatif, Kata "Israeled" Resmi Tercantum Dalam Kamus Online, Ini Artinya
Konotasi kata baru "israeled" ini negatif, mengacu pada tindakan Israel di Palestina, tanah jajahannya.
Baca SelengkapnyaMenlu Israel Sebut Ingin Pindahkan Penduduk Gaza ke Pulau Buatan, di Sini Lokasinya
Usulan ini bikin syok anggota Dewan Menteri Luar Negeri Uni Eropa saat mendengarnya langsung dari Menlu Israel.
Baca SelengkapnyaPejabat Uni Eropa Sebut Israel Danai Hamas Untuk Tujuan Ini
Pernyataan ini disampaikan menjelang pertemuan menteri luar negeri Uni Eropa bersama perwakilan Israel, Otoritas Palestina, dan negara-negara Arab.
Baca Selengkapnya