Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Profil

Ahmad Rifa'i

Profil Ahmad Rifa'i | Merdeka.com

K.H. Ahmad Rifa'i adalah seorang ulama kelahiran Kendal, Jawa Tengah, yang tepatnya berada di desa Tempuran pada tanggal 13 November 1785 (versi lain 1786), yang jika dalam kalender Islam tepat pada 9 Muharam 1200 Hijriah. Ayah beliau adalah seorang penghulu di Kendal yang bernama Muhammad Marhum bin Abi Sujak Wijaya dan ibu bernama Siti Rohmah. Pada usia enam tahun, Ahmad Rifa'i telah ditinggal pergi selama-lamanya oleh ayah beliau. Setelah kepergian ayah beliau, Ahmad Rifa'I diasuh oleh Nyai Rajiyah binti Muhammad Marhum yang juga kakak beliau sendiri dan seorang istri dari K.H. Asy'ari yang merupakan pendiri dan pengasuh Pesantren Kaliwungu. Pada saat itulah beliau mulai berjuang dalam menyebarkan agama Islam kepada masyarakat luas.

Dalam perjuangan yang gigih dan pantang menyerah, beliau mencoba untuk mengumpulkan banyak relasi untuk memudahkan penyebaran agama Islam. Beliau telah mulai berdakwah dalam tabligh keliling yang dilakukan di daerah Kendal dan sekitarnya ketika masih kecil. Selain menyinggung masalah agama, beliau juga menyinggung masalah sosial dalam dakwahnya, seperti arti kemerdekaan dan perjuangan melawan kolonial Belanda. Akibat dari isi dakwah beliau, Ahmad Rifa'I diasingkan ke Ambon lalu dipindahkan ke Manado oleh pemerintahan kolonial. Walaupun beliau menerima hukuman pengasingan, beliau tak pernah menyerah dan tetap konsisten dalam penyebaran agama Islam yang membuat pergerakannya semakin kuat dan membuat pemerintahan ketakutan.

Kemudian beliau dibuang ke sebuah desa terpencil di Kecamatan Limpung, Batang yang bernama Kalisasak pada tahun 1838. Pada 1841 beliau justru mendirikan Pesantren Al-Qur'an di sana, dan pesantren tersebut berkembang pesat sehingga banyak santri dari segala penjuru Pulau Jawa berdatangan. Ahmad Rifa'I kembali tampil dalam penentangan terhadap kolonial Belanda dengan Gerakan Taramujah yang menekankan aspek keagamaan dan budaya masyarakat lokal dalam perjuangannya. Beliau juga berhasil menyusun Kitab Nazam Wikayah yang berisi anjuran untuk menentang orang kafir Belanda dan yang bersekutu dengan mereka. Dalam setiap rangkaian kata yang beliau tulis, beliau selalu menekankan bahwa Belanda dan sekutunya adalah kafir dan halal untuk diperangi.

Dikarenakan pandangan beliau terhadap Belanda, Ahmad Rifa'i pernah dijuluki "Setan Kalisasak" oleh kolonial Belanda dan "Ulama Sesat" oleh ulama yang mendukung Belanda. Meskipun pada akhirnya beliau mendapat larangan berdakwah, beliau tetap berjuang dengan menulis berbagai kitab dan 55 kitab telah beliau hasilkan. Sebuah organisasi dengan nama Rifa'iyah didirikan oleh para pengikut beliau dan berpusat di Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Tengah.

Ahmad Rifa'i akhirnya meninggal dunia di tahun 1870 pada usia 84 tahun saat diasingkan di Kampung Jawa Tondano, Manado, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kyai Mojo.

Setelah lebih dari satu abad akhirnya melalui Kepres Nomor: 089/TK/2004 beliau diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Riset dan Analisis: Galih Setyo Pribadi

Profil

  • Nama Lengkap

    K.H. Ahmad Rifa'i

  • Alias

    No Alias

  • Agama

    Islam

  • Tempat Lahir

    Desa Tempuran, Kendal, Jawa Tengah

  • Tanggal Lahir

    1785-11-13

  • Zodiak

    Scorpion

  • Warga Negara

    Indonesia

  • Biografi

    K.H. Ahmad Rifa'i adalah seorang ulama kelahiran Kendal, Jawa Tengah, yang tepatnya berada di desa Tempuran pada tanggal 13 November 1785 (versi lain 1786), yang jika dalam kalender Islam tepat pada 9 Muharam 1200 Hijriah. Ayah beliau adalah seorang penghulu di Kendal yang bernama Muhammad Marhum bin Abi Sujak Wijaya dan ibu bernama Siti Rohmah. Pada usia enam tahun, Ahmad Rifa'i telah ditinggal pergi selama-lamanya oleh ayah beliau. Setelah kepergian ayah beliau, Ahmad Rifa'I diasuh oleh Nyai Rajiyah binti Muhammad Marhum yang juga kakak beliau sendiri dan seorang istri dari K.H. Asy'ari yang merupakan pendiri dan pengasuh Pesantren Kaliwungu. Pada saat itulah beliau mulai berjuang dalam menyebarkan agama Islam kepada masyarakat luas.

    Dalam perjuangan yang gigih dan pantang menyerah, beliau mencoba untuk mengumpulkan banyak relasi untuk memudahkan penyebaran agama Islam. Beliau telah mulai berdakwah dalam tabligh keliling yang dilakukan di daerah Kendal dan sekitarnya ketika masih kecil. Selain menyinggung masalah agama, beliau juga menyinggung masalah sosial dalam dakwahnya, seperti arti kemerdekaan dan perjuangan melawan kolonial Belanda. Akibat dari isi dakwah beliau, Ahmad Rifa'I diasingkan ke Ambon lalu dipindahkan ke Manado oleh pemerintahan kolonial. Walaupun beliau menerima hukuman pengasingan, beliau tak pernah menyerah dan tetap konsisten dalam penyebaran agama Islam yang membuat pergerakannya semakin kuat dan membuat pemerintahan ketakutan.

    Kemudian beliau dibuang ke sebuah desa terpencil di Kecamatan Limpung, Batang yang bernama Kalisasak pada tahun 1838. Pada 1841 beliau justru mendirikan Pesantren Al-Qur'an di sana, dan pesantren tersebut berkembang pesat sehingga banyak santri dari segala penjuru Pulau Jawa berdatangan. Ahmad Rifa'I kembali tampil dalam penentangan terhadap kolonial Belanda dengan Gerakan Taramujah yang menekankan aspek keagamaan dan budaya masyarakat lokal dalam perjuangannya. Beliau juga berhasil menyusun Kitab Nazam Wikayah yang berisi anjuran untuk menentang orang kafir Belanda dan yang bersekutu dengan mereka. Dalam setiap rangkaian kata yang beliau tulis, beliau selalu menekankan bahwa Belanda dan sekutunya adalah kafir dan halal untuk diperangi.

    Dikarenakan pandangan beliau terhadap Belanda, Ahmad Rifa'i pernah dijuluki "Setan Kalisasak" oleh kolonial Belanda dan "Ulama Sesat" oleh ulama yang mendukung Belanda. Meskipun pada akhirnya beliau mendapat larangan berdakwah, beliau tetap berjuang dengan menulis berbagai kitab dan 55 kitab telah beliau hasilkan. Sebuah organisasi dengan nama Rifa'iyah didirikan oleh para pengikut beliau dan berpusat di Kedungwuni, Pekalongan, Jawa Tengah.

    Ahmad Rifa'i akhirnya meninggal dunia di tahun 1870 pada usia 84 tahun saat diasingkan di Kampung Jawa Tondano, Manado, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kyai Mojo.

    Setelah lebih dari satu abad akhirnya melalui Kepres Nomor: 089/TK/2004 beliau diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

    Riset dan Analisis: Galih Setyo Pribadi

  • Pendidikan

  • Karir

  • Penghargaan

Geser ke atas Berita Selanjutnya