Merdeka.com - Pengusaha mutiara mengeluhkan kebijakan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terhadap produk mereka. Mereka merasa kebijakan itu aneh lantaran produk yang dihasilkan adalah produk lokal dan bukan kategori barang impor.

"Bila kita ingin value added di dalam negeri dan juga konsumsi domestik ditambah 75 persen. Padahal jelas sebenarnya ini bukan barang impor tetapi barang lokal," kata Presiden Direktur PT Cendana Indopearls Joseph Taylor di Jakarta, Senin (4/5).

Pengusaha asal Australia ini mengaku terbebani dengan kebijakan itu. Apalagi biaya produksi mutiara dan perhiasan tidak murah. Dia menilai, tidak masuk akal jika mutiara buatan lokal dimasukkan kategori barang mewah.

"Mutiara tetap masuk golongan barang mewah untuk produk lokal dengan ditambah PPn biasa 10 persen. Totalnya menjadi 85 persen pajak untuk konsumsi di dalam negeri sehingga menjadikan orientasinya ke ekspor saja," katanya.

Dalam pandangannya, seharusnya Indonesia mempunyai batu hias yang menjadi andalan nasional. Mutiara dianggapnya sebagai pilihan cocok untuk mendorong ide tersebut.

Banyak mutiara mahal justru berasal dari Indonesia. Namun harus dikelola dengan konsep berkelanjutan lantaran kerang mutiara sangat sensitif.

"Banyak orang Indonesia sendiri tidak tahu bahwa south sea pearl pusatnya berada di Indonesia," ucapnya.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sesumbar bakal mendorong sektor budidaya mutiara dalam negeri. Namun dia meminta warga lokal lebih banyak dilibatkan dalam industri ini.

"Kita ingin membuat budidaya ini dikenal," terang Susi.