Merdeka.com - Pemerintah harus memiliki stok beras sekitar 10 persen dari kebutuhan masyarakat. Besaran itu dinilai cukup untuk menjaga stabilitas harga beras.

Hal tersebut diungkapkan Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati dalam diskusi mingguan 'Pangan Kita' digelar oleh merdeka.com, Radio Republik Indonesia (RRI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Institute Komunikasi Nasional (IKN) dan DPR RI di Jakarta, Senin (1/6).

"Pemerintah selalu statemennya 'semua stok tersedia, semua terkendali, cukup, jangan resah'. Tapi toh pada saat memasuki Ramadan harga tetap naik. Ini yang dibutuhkan adalah kepastian," tegasnya.

"Itu yang disebut dengan stabilisasi harga bufferstock di lingkungan konsumen. Kalau itu terjadi, keresahan tadi bisa berubahan menjadi ketenangan. Kalau hanya bilang butuh-butuh sekian percuman," ujarnya.

Direktur Bulog Lely Pelitasari‎ menyebut, sejauh ini, pihaknya telah membeli beras dan gabah sebanyak 1,2 juta ton. Diakuinya, itu lebih rendah sekitar 300 ton jika dibandingkan periode sama tahun lalu.

"Soal cadangan beras pemerintah stok yang ada di Bulog hari ini Insya Allah aman untuk 5,8 bulan ke depan. Tentunya untuk kebutuhan rutin yang menjadi tugas Bulog untuk Raskin dan jaga-jaga," katanya.

Menurut Enny, stok beras sebanyak itu tak cukup. Bulog masih harus membeli sebanyak tiga kali lipat.

"Sekarang kondisi 1,2 juta ton. Saya nggak tahu stok 5,8 bulan ini sama dengan berapa. Tetapi kalau Bulog, sampai saat ini tidak pegang 3,5 juta ton itu tetap saja menimbulkan kekhawatiran."