7 Alasan program Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK tak realistis
Merdeka.com - Pemilihan presiden tinggal menyisakan beberapa hari. Beberapa bulan terakhir, rakyat Indonesia disuguhkan janji-janji manis, program-program unggulan, dan rencana-rencana dua pasangan calon presiden-calon wakil presiden. Baik pasangan Prabowo Subianto - Hatta Rajasa maupun Joko Widodo - Jusuf Kalla , sama-sama berlomba mencuri hati rakyat untuk mendulang suara.
Hampir di setiap kesempatan kampanye, baik saat bertemu langsung dengan rakyat hingga di panggung debat terbuka, masing-masing pasangan capres-cawapres menjual dagangannya yakni visi-misi serta program kerja jika terpilih menjadi penguasa negeri yang jumlah penduduknya mencapai lebih dari 250 juta jiwa ini.
Tidak semua program dan visi-misi mereka bisa diterima. Hujan kritik hampir selalu mengekor di belakang promosi visi-misi dan program kerja. Termasuk kritik atas pandangan pembangunan ekonomi dan program-program capres-cawapres di sektor ekonomi dan bisnis.
Baik pemerintah, ekonom, hingga pelaku ekonomi ikut angkat bicara. Mereka masing-masing punya penilaian sendiri atas jualan para capres-cawapres di sektor ekonomi.
Merdeka.com mencatat alasan-alasan program Prabowo-hatta dan Jokowi-JK dinilai tak realistis dijalankan ketika sudah menjadi nahkoda Indonesia. Berikut paparannya.
Pertumbuhan ekonomi 7 persen sulit dicapai
Bank Indonesia (BI) angkat bicara soal ambisi dua pasangan capres-cawapres baik Prabowo - Hatta maupun Jokowi - JK yang yakin meningkatkan pertumbuhan ekonomi 7 persen.
Bank sentral mengingatkan, target itu tidak bisa dipenuhi dalam waktu dekat. Alasannya, Indonesia masih memiliki kelemahan dalam tiga aspek pendorong pertumbuhan.
"Kalau seandainya Indonesia bisa meneruskan reformasi struktural kita bisa mencapai itu baru di 2018 pertumbuhan ekonomi 6,5 persen atau lebih," ujarnya saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (2/7).
Menteri Keuangan Chatib Basri menilai kondisi perekonomian global pada 2015 masih diwarnai ketatnya arus modal asing, akibat rencana bank sentral Amerika Serikat (The Fed) meningkatkan suku bunga pinjaman. Imbasnya, pertumbuhan ekonomi di Tanah Air kemungkinan sulit melampaui 6 persen.
"Tahun depan agak berat kalau tujuh persen. Situasi global akan mempengaruhi," ujarnya selepas rapat bersama Badan Anggaran DPR RI, di Jakarta, Selasa (24/6)
Dana untuk program dari mana?
Profesor ekonomi emeritus Universitas Indonesia Emil Salim mengkritik visi-misi ekonomi dua pasangan capres-cawapres. Baik Prabowo Subianto - Hatta Rajasa maupun Joko Widodo - Jusuf Kalla masih saja tidak tegas menggali soal penerimaan negara.
Dia melihat cita-cita kedua capres untuk mencetak jutaan hektar sawah baru, membangun infrastruktur perhubungan, dan sebagainya, cukup mulia. Masalahnya, seperti sudah banyak dipertanyakan ekonom, tidak jelas dari mana asal duitnya.
"Dari mana dananya? Ekonom akan selalu berkata dananya terbatas. Maka bagaimana jalan keluarnya, cita-cita itu an sich tidak keliru, tapi harus ada kerangka keterbatasan dana di APBN," kata Emil dalam diskusi Indonesia Research & Strategic Analysis (IRSA), di Jakarta, Rabu (2/7).
Tak singgung hapus subsidi BBM
Profesor ekonomi emeritus Universitas Indonesia Emil Salim menegaskan, masalah utama APBN 10 tahun terakhir, adalah defisit anggaran. Pada tahun ini saja, defisit mencapai 2,5 persen, sehingga perlu ada penambalan dari utang luar negeri, baik pinjaman langsung maupun obligasi pemerintah.
Itu semua pangkal masalahnya adalah subsidi Bahan Bakar Minyak terlalu besar. Dia menantang kedua capres tegas dalam subsidi tersebut.
"Kalau subsidi BBM tidak dihapus berbagai rencana infrastruktur harus dipotong. Cita-cita itu bagus, tapi defisit itu harus dihapus, sehingga BBM subsidi harus dihapus. Ini sementara tidak ada di Jokowi maupun Prabowo," ujarnya.
Pada visi-misinya, Prabowo tidak memilih opsi penghapusan subsidi BBM. Capres nomor urut satu ini memilih pendekatan pengendalian konsumsi, seperti yang ditempuh di era Susilo Bambang Yudhoyono.
Belum punya rencana jangka panjang
Visi-misi ekonomi Prabowo-Jokowi dinilai rata-rata masih mikro. Untuk Prabowo misalnya pembukaan 10 juta hektar sawah baru dari hutan rusak, atau pengembangan bioetanol.
Setali tiga uang, Jokowi juga terlalu fokus pada hal-hal mikro seperti penyediaan gudang pascapanen untuk petani dan nelayan.
Profesor ekonomi emeritus Universitas Indonesia Emil Salim melihat keduanya kurang punya rencana jangka panjang. Jelang pemilihan umum, dia berharap masing-masing kubu mempertajam visi pembangunan Indonesia minimal hingga 2030.
"Jokowi dan Prabowo sangat terpukau pada short term, yang bisa dihadirkan pada 2015. Padahal sebagai presiden dia bukan memecahkan masalah teknis, dia bangun bangsa. Sebaiknya mereka mengantisipasi perubahan jangka panjang, seperti tren demokrasi daerah. Kemudian bagaimana lingkungan, over eksploitasi di Riau, Kalimantan, bagaimana kalau sumber daya alam habis," kata Guru Besar (Emeritus) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini.
Ketahanan energi janji abu-abu
Pembahasan krisis energi saat ini menjadi isu seksi bagi kedua kubu capres-cawapres mendatang untuk dicarikan jalan keluar. Pasalnya, krisis energi akan mendatangkan masalah pada tiap sendi kehidupan masyarakat. Sementara, negara menjadi wajib menjaga keberlangsungannya.
Ekonom Ikhsan Modjo mendesak realisasi janji manis para capres-cawapres Jokowi - JK dan Prabowo - Hatta pada sektor energi segera dilaksanakan jika terpilih kelak.
Kedua kubu ini bahkan sesumbar mampu berdaulat energi. Seperti pasangan Jokowi - JK akan melakukan penghapusan subsidi BBM dalam empat tahun. Sedangkan, pasangan Prabowo - Hatta akan menghilangkan impor BBM.
"Jika saat ini mengungkapkan hal tersebut merupakan janji yang abu-abu, maksudnya belum bisa dipastikan apakah akan dilakukan atau tidak," ujarnya di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu (31/5).
Soal infrastruktur tak konkret
Visi misi ekonomi kedua pasangan ini dinilai belum menjawab persoalan ekonomi nasional. Baik visi misi Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta tidak konkret. Khususnya untuk masalah infrastruktur.?
"Dua-duanya belum ada yang konkret jadi harus konkret dulu terhadap menyelesaikan persoalan seberapa," ujar Direktur Institute for Development of Economics and Finance Enny Sri Hartati dalam diskusi bertajuk "Revolusi Mental Sektor Pertanian sebagai Landasan Kemandirian Ekonomi", yang digelar FA-IPB dan Jokowi Center di Jakarta, Minggu (25/5).
Setop utang luar negeri tak realistis
Ambisi pasangan Joko Widodo - Jusuf Kalla (Jokowi - JK), jika terpilih menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia, untuk setop utang luar negeri belum realistis dilaksanakan dalam waktu yang cepat. Pasalnya, realisasi pungutan pajak sebagai sumber terbesar penerimaan negara saat ini masih jauh dari potensinya.
"Negara maju pun masih berutang," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Mohammad Ikhsan, di Jakarta, kemarin.
(mdk/noe)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
AHY menilai, banyak keterbatasan saat partainya berada di luar pemerintah atau oposisi.
Baca SelengkapnyaPrabowo mengaku banyak program Jokowi yang sangat baik untuk kemajuan Indonesia.
Baca SelengkapnyaAhok ragu nantinya Prabowo akan melanjutkan program Jokowi.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Bagja juga menyinggung saat Presiden Jokowi bertemu Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang juga capres nomor urut 02.
Baca SelengkapnyaAHY menegaskan, kini sikap Demokrat menyukseskan program pemerintahan Jokowi.
Baca SelengkapnyaRAPBN 2025 harus memperhatikan program presiden terpilih 2024-2029.
Baca SelengkapnyaUsulan kenaikan pangkat Prabowo ini merupakan usulan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto.
Baca SelengkapnyaKeputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan pangkat kehormatan kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menuai pro kontra.
Baca SelengkapnyaHasto menilai, Ganjar berupaya menyempurnakan segala program baik yang dicanangkan Jokowi.
Baca Selengkapnya