Ketika emoticon dipakai sebagai pengganti ekspresi wajah manusia

Merdeka.com - Tidak jarang kita mendapati sebuah komunikasi teks baik berupa tulisan di email, chat atau tulisan-tulisan di blog menggunakan smiley atau emoticon. Apakah benar emoticon yang tertera merupakan pelambang dari perasaan seseorang pada waktu menuliskan sesuatu?

Menurut tulisan di Wikipedia, smiley atau face emoticon atau biasa disebut dengan emoticon saja merupakan representasi dari ekspresi wajah yang termasuk dalam lingkup body language atau bahasa tubuh.

Emoticon merupakan bahasa komunikasi verbal untuk lebih memudahkan sang pengirim pesan untuk mengekspresikan perasaan hatinya pada saat itu dalam metode simbol.

Ketika pertama kali digunakan, emoticon hanya terdapat beberapa saja tidak seperti sekarang ini yang sangat banyak macam dan jumlahnya. Bahkan sekarang ini, emoticon adalah simbol-simbol ekspresi perasaan yang identik dengan chatting.

Namun, dari penggunaan emoticon ini, benarkah smiley tersebut merupakan representasi dari perasaan seseorang yang dikirimkan ke orang lain pada satu waktu?

Secara psikologis, disadari atau tidak, wajah manusia dapat memunculkan ekspresi pada saat menanggapi suatu keadaan, situasi atau juga masalah. Entah itu dalam konteks humor, emosi, sedih atau lainnya, wajah tidak dapat menutupi perasaan seseorang.

Menurut jurnal psikologi, Cyber Psychology & Behavior, volume 3, Number 5, 2000, oleh Mary Ann Liebert Inc, mengungkapkan bahwa emoticon memang merupakan bentuk ekspresi singkat dari seseorang.

Kebanyakan orang yang menggunakan emoticon dalam pesannya mampu lebih leluasa mengungkapkan perasaan daripada ketika bertemu face-to-face.

Menurut ulasan di sebuah jurnal psikologi lain berjudul A longitudinal study of emoticon use in text messaging from smartphones oleh Chad C Tossell, Philip Kortuma, Clayton Shepard, Laura H Barg-Walkowb, Ahmad Rahmati dan Lin Zhong yang dipublikasikan secara online pada tanggal 10 Desember 2011 menyatakan bahwa sejak zaman chatting dan Short Message Service (SMS) mulai banyak digunakan, sekitar 4 persen dari seluruh pesan yang dikirimkan di seluruh dunia menggunakan emoticon di dalamnya, setiap hari.

Bahkan emoticon sangat berperan penting untuk berkomunikasi secara informal karena dapat menghilangkan sisi kesalahan interpretasi yang disebabkan kurangnya pemahaman seseorang terhadap pesan yang diterimanya.

Pendapat dari jurnal ilmiah tersebut juga dibahas dalam Researchgate.com. Dalam situs tersebut dikatakan bahwa memang ada kemungkinan bahwa emoticon yang dikirimkan tidak merepresentasikan perasaan seseorang pada waktu itu atau dapat dibilang palsu, namun emoticon digunakan untuk menghindari sisi persepsi negatifnya saja.

Tidak hanya itu, tidak hanya berfungsi sebagai pelambang saja, emoticon juga dapat berdiri sebagai penegas suatu kalimat atau kata yang dikirimkan. Contohnya kalimat, "Aku cinta padamu :)" lebih terasa 'nyawanya' daripada hanya tertulis, "Aku cinta padamu" saja.

Aku cinta padamu

dan

Aku cinta padamu :)

Dengan menggunakan emoticon, maka pesan teks yang dikirimkan akan nampak lebih 'hidup' karena melibatkan representasi perasaan dari sang pengirim.

Terlepas dari palsu tidaknya emoticon dalam sebuah pesan yang dikirimkan, sampai sekarang belum ada penelitian yang mencoba menggali hal tersebut.

Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kepalsuan tersebut ada, seperti contohnya mengirimkan pesan dengan imbuhan emoticon tertawa terbahak-bahak belum tentu juga sang pengirim pada waktu itu sedang tertawa terbahak-bahak.

Apabila ada dua pertanyaan mengenai smiley atau emoticon, pentingkah emoticon digunakan sebagai pemanis dalam sebuah pesan teks baik itu SMS, chatting atau email dan apakah emoticon yang Anda kirimkan itu merupakan benar-benar representasi dari perasaan Anda pada waktu itu? Share your great opinions.

Berita tentang TeknoLove lainnya

Relakan setengah identitas hilang demi sang idola

Ketika kadar cinta diukur dari SMS berbayar

Galaunya Timeline Twitter di malam minggu

Curhat asmara via internet dianggap lebih nyaman

LDR is nothing!

Filsuf dadakan di Twitter, ajang cari popularitas?