Bisakah Indonesia lepas dari cengkeraman Microsoft?
Merdeka.com - Menurut Sekertaris Jenderal (Sekjen) Masyarakat Industri Kreatif Teknologi dan Informasi Indonesia (MIKTI), Hari S. Sungkari, mengatakan, ketergantungan masyarakat Indonesia menggunakan software proprietary memang tak bisa dibantahkan. Salah satunya dalam menggunakan produk dari Microsoft. Namun menurutnya, sebetulnya baik Microsoft maupun Open Office yang notabene berbasis open source juga sama-sama memiliki kekurangan.
"Masing-masing itu, punya kelebihan dan kekurangan baik itu Microsoft maupun Open Office. Jadi jangan dipukul rata. Memang, kalau pakai Microsoft kita bayar royalti, sementara Open Office gak perlu bayar," ujarnya kepada Merdeka.com melalui sambungan telepon, Selasa (27/10).
Hanya saja, kata dia, yang jadi persoalan adalah bagaimana melepaskan ketergantungan menggunakan produk yang mengharuskan membayar lisensi.
Kata Hari, memang tak mudah untuk melepaskan cengkeraman dari software proprietary seperti Microsoft. Namun, setidaknya, untuk meminimalisir penggunaannya bisa dilakukan tetapi tak bisa untuk skala besar.
"Untuk skala pemerintahan bisa ya dan itu sudah ada inisiatifnya sebenernya dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB), tapi untuk diterapkan di skala yang lebih luas belum tentu. Beda kalau swasta ya, mungkin lebih suka menggunakan proprietary. Karena kita udah ditanggung kan sama technical supportnya. Jadi kalau open source harus punya dukungan internal yang banyak," katanya.
"Misalnya saja, perusahaan UMKM, saya harus sediakan 10 sampai 20 programer untuk menyiapkan open source itu. Bagi mereka, itu cost lagi. Apalagi kalau basicnya perusahaanya bukan di TI misalnya logistik, mending pakai yang software proprietary. Jadi intinya, gak bisa dipukul rata," imbuhnya.
Sementara itu, di sisi lain, menurut data dari pegiat open source, Onno W. Purbo, pada tahun 2010, Indonesia membayar USD 300 juta per tahun untuk membeli software proprietary. Pada tahun yang sama juga, DIKNAS menganggarkan Rp 3,9 triliun untuk TIK sekolah dan total belanja TI di Indonesia di prediksi sekitar Rp 141 sampai dengan Rp 181 triliun.
"Uang tersebut sebagian besar lari ke negara maju, seperti, Amerika Serikat dan Eropa," tulis di situs pribadinya.
(mdk/bbo)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pasalnya, kata Budi penonaktifan akan dilakukan langsung oleh Kemendagri.
Baca SelengkapnyaPemilu 1955 merupakan pemilu pertama yang diselenggarakan di Indonesia.
Baca SelengkapnyaIndonesia memiliki sebuah kereta yang kehadirannya sama sekali tidak diharapkan, jika kereta tersebut keluar, berarti sedang ada hal buruk yang terjadi.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Syarat menjadi pemilih dalam Pemilu penting diketahui setiap warga negara Indonesia.
Baca SelengkapnyaSiapa mereka? Berikut orang-orang yang menguasai internet Indonesia.
Baca SelengkapnyaOrang-orang tanpa takut meninggalkan kendaraannya dengan kunci yang masih menempel.
Baca SelengkapnyaKematian secara alami lebih sering dijumpai dan dialami oleh manusia. Yuk, simak penjelasan lengkap tentang kematian alami yang seharusnya dialami oleh manusia!
Baca SelengkapnyaMulai dari tas hingga gerobak tak luput dari pemeriksaan.
Baca SelengkapnyaIni berdasarkan hasil survei Telkomsel Enterprise terhadap warga Indonesia jelang Lebaran.
Baca Selengkapnya