Tidak ada Idul Fitri untuk Ki Hajar Dewantara
Merdeka.com - Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau lebih familiar dipanggil Ki Hajar Dewantara, merupakan putra Pangeran Sasraningrat, serta cucu Paku Alam III, penguasa Kadipaten Paku Alaman Yogyakarta.
Pada masa kemerdekaan, sumbangsih Ki Hajar untuk Indonesia sangat besar. Dia menjadi aktivis kemerdekaan, politisi, hingga pelopor pendidikan untuk kaum pribumi melalui lembaga Taman Siswa.
Sejak kecil, kehidupan Soewardi di pura Paku Alaman sudah banyak berinteraksi dengan orang-orang Belanda. Dia juga menjadi saksi tindakan monopoli Belanda, yang selalu campur tangan setiap pergantian tampuk kepemimpinan di Istana.
Dikutip dari buku jejak-jejak pahlawan tulisan JB Soedarmanta, Ki Hajar menempuh pendidikan dasarnya di Europesse Lager School atau sekolah dasar Belanda di Yogyakarta.
Kemudian setelah lulus, Ki Hajar melanjutkan pendidikannya di School tot Opleiding van Inlandsche Aartsen atau sekolah dokter pribumi. Ki Hajar menempuh pendidikan selama enam tahun, 1903-1909.
Di sekolah ini, Ki Hajar mulai mengenal dan mempelajari ilmu politik. Berbagai litelatur buku bernuansa politik, menjadi bacaan sehari-harinya.
Pergaulan Ki Hajar sangat luas, tidak hanya kepada sesama kaum pribumi, sikap terbukanya tanpa membedakan ras dan agama, menjadikan Ki Hajar banyak disukai oleh keturunan Belanda.
Namun, sistem pendidikan asrama yang diterapkan pihak sekolahan membuat Ki Hajar dan murid pribumi lainnya, merasa terasingkan dan diperlakukan secara diskriminasi.
Berbagai peraturan diterapkan untuk mendiskreditkan murid pribumi. Seperti tata cara berpakaian murid pribumi yang tidak boleh menyamai siswi keturunan Belanda, hingga larangan merayakan hari raya Idul Fitri.
Ki Hajar bersama teman-teman Muslim lainnya kecewa dengan sikap Belanda itu, tidak habis pikir, Belanda melarang siswa pribumi salad Ied dan merayakan Idul Fitri. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengembalikan derajat pribumi. Namun kekecewaan itu hanya dianggap sebagai angin lalu untuk Belanda. Dengan segala kekuasaannya, Belanda semena-mena bersikap kepada kaum pribumi.
Namun, kondisi yang serba terbatas ini tidak menyurutkan Ki Hajar untuk menyerah dan pasrah pada keadaan. Sampai pada 1909, Ki Hajar memutuskan untuk berhenti karena biaya administrasi sekolah yang ditetapkan Belanda, sudah tidak manusiawi.
Setelah keluar dari sekolah dokter pribumi, Ki Hajar bekerja sebagai analis di pabrik gula milik Belanda di Bojong, Purbalingga. Setelah cukup lama bekerja, kemudian Ki Hajar kembali lagi ke Yogyakarta dan bekerja di Apotik Rathkamp.
Pergaulannya yang luas, mengantarkan Ki Hajar menggeluti dunia kewartawanan hingga akhirnya mengantarkannya bertemu dengan Douwes Dekker dan HOS Tjokroaminoto. Sejak saat itulah, nama Ki Hajar muncul ke permukaan sebagai sosok yang berjasa besar untuk bangsa Indonesia.
(mdk/war)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pengawalan ketat dilakukan Satgas Pam Gudang Logistik KPU Rohil yang dipimpin Iptu Yatim.
Baca SelengkapnyaBerbagai persiapan dan kesiapan dalam menghadapi Pemilu 2024 tengah dilaksanakan oleh Polres Rokan Hulu, Polda Riau.
Baca SelengkapnyaSebanyak 949 TPS Surat Suara untuk 9 Kecamatan di Rohil dipindahkan oleh staf KPU Daerah Kabupaten Rohil.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Polisi memperketat SOP pengamanan di gudang KPU Rohul.
Baca SelengkapnyaGiat simulasi pengawalan Logistik KPU-PPK-PPS, Sabtu (27/1) sekitar pukul 09.30 Wib, di Lapangan Apel Mapolres Rokan Hulu (Rohul)
Baca SelengkapnyaKondisi infrastruktur yang kurang memadai menjadi tantangan tersendiri dalam pendistribusian logistik Pemilu di Rohil.
Baca SelengkapnyaPolri menggandeng sejumlah pihak untuk memastikan Pemilu berjalan aman
Baca SelengkapnyaPemilihan ulang terjadi karena ada pemilih yang tidak terdaftar di DPT Rohil.
Baca SelengkapnyaTerdapat 128 TPS yang ternyata terisolir di Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
Baca Selengkapnya