Fahri sebut hidupkan kembali pasal penghinaan presiden pikiran kuno
Merdeka.com - Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah tidak sepakat jika pasal 263 ayat 1 dan diperluas lewat pasal 264 dalam RUU KUHP yang disodorkan pemerintah tentang penghinaan presiden dihidupkan kembali. Menurut dia, menyakralkan jabatan presiden tak sesuai dengan konsep demokrasi kekinian. Pasal tersebut sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Desember 2006 silam.
"Jadi kalau menyakralkan individu di dalam kelembagaan, itu pikiran kuno. Tapi kalau menjaga lambang benda mati itu saya setuju. Lambang negara itu benda mati, emblem, lagu, bendera, dan sebagainya. Karena itu bagian dari kita untuk menjaga wibawa terkait simbol negara kita," kata Fahri di Kompleks Parlemen DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (4/8).
Fahri menyayangkan ketidaktelitian pemerintah terhadap pasal yang telah dibatalkan Mahkamah MK jauh-jauh hari tersebut. Pasalnya pemerintah telah mengajukan pasal tanpa melalui proses kalibasi putusan MK.
"Tapi kalau pasal itu mengulang dari yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi, tentu kita perlu mempertanyakan proses di dalam Kementerian Hukum dan HAM, terutama Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Ketelitian mereka untuk memeriksa pasal-pasal mana yang sudah tidak boleh dicantumkan akibat pembatalan oleh Mahkamah Konstitusi," kata Wasekjen PKS.
Fahri menegaskan, memang secara politik pasal tersebut bisa dimasukkan dalam KUHP. Namun percuma saja jika nantinya MK akan membatalkannya kembali. Situasi tersebut justru membuat sistem kenegaraan semakin rumit.
"Tapi kan kita tahu bahwa jika Mahkamah Konstitusi dituntut masyarakat untuk konsisten, maka pasal yang sama kemudian akan dibatalkan," tegasnya.
Menurut Fahri, menjadi pejabat negara itu memang sudah sepatutnya berani menerima kritik. Sebab hal tersebut akan membantunya mengevaluasi diri dan mendorong berani bekerja secara transparan.
"Serangan pribadi pada pejabat negara itu kadang-kadang kita harus biarkan agar pejabat negara tambah baik dan mengintrospeksi diri. Itu konsekuensi sebagai pejabat negara. Kalau tidak mau pribadinya diserang, maka ya jangan jadi pejabat negara," pungkasnya.
Fahri juga menegaskan agar pemerintah tetap kembali pada keputusan MK. Sebab baginya keputusan MK telah melalui proses pengujian yang panjang dan mendapatkan hasil yang baik. Jika tidak maka akan terjadi kemunduran sistem demokrasi.
"Kalau apa yang sudah dibatalkan dihidupkan kembali ya sudah mundur. Tapi memang secara substansi berdemokrasi juga prinsip kesucian simbolisasi pejabat publik itu tidakk dikenal. Kita ini, pejabat negara ini, memang datang dan pergi untuk dihina supaya memperbaki diri," tutupnya.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Dewas KPK Vonis Firli Bahuri Bersalah, Jatuhkan Sanksi Berat untuk Mengundurkan Diri
ertemuan itu pun dianggap oleh Tumpak adanya kepentingan tertentu.
Baca SelengkapnyaIni Kriteria Presiden 2024 Pilihan Istri Gus Dur
Dalam pertemuan dengan Wapres, para tokoh yang hadir menyampaikan hal-hal terkait pentingnya keutuhan bangsa,.
Baca SelengkapnyaInilah Presiden Indonesia Usia Tertua saat Dilantik, Umurnya di Atas 60 Tahun
Dari 7 Presiden yang memimpin Indonesia, BJ Habibie lah kepala negara RI tertua ketika dilantik yakni 61 tahun.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Bawaslu Ingatkan Menteri Jadi Tim Kampanye Hati-Hati Dalam Tugas Kenegaraan
Bagya mengakui teguran itu sudah disampaikan ke Presiden. Namun, Bagya enggan menjelaskan teguran itu.
Baca SelengkapnyaHarapan Petani Tembakau ke Presiden Terpilih: Jaga Keberlangsungan Mata Pencaharian Kami
Samukrah mengingatkan bahwa terdapat jutaan masyarakat yang menggantungkan hidupnya di sektor pertembakauan.
Baca SelengkapnyaMuncul Gerakan Salam Empat Jari, Ini Respons Anies
Calon Presiden nomor urut 1, Anies Baswedan menanggapi isu salam empat jari hingga gerakan tak memilih pasangan Capres nomer 2, Prabowo-Gibran.
Baca SelengkapnyaHakim MK Pertanyakan Frasa 'Penugasan Presiden’, Begini Jawaban Menko Muhadjir
Arief Hidayat mempertanyakan terkait 'penugasan presiden' yang disampaikan Menko PMK Muhadjir Effendy, saat sidang sengketa Pilpres 2024.
Baca SelengkapnyaTernyata Ini Alasan Jokowi Bagi-Bagi Bansos Beras Jelang Pilpres 2024
Presiden akhirnya buka suara terkait polemik pemberian bansos beras kemasan 10 kg di tahun politik.
Baca SelengkapnyaHakim MK Arief Hidayat: Pilpres 2024 Paling Hiruk Pikuk, Ada Pelanggaran Etik hingga Isu Cawe-Cawe Presiden
hakim semula hendak memanggil Jokowi untuk meminta keterangan. Namun, dibatalkan demi menghargai kepala negara.
Baca Selengkapnya