Alasan RUU TPKS Tak Atur tentang Pemerkosaan dan Aborsi
Merdeka.com - Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Willy Aditya menjelaskan, alasan pemerkosaan dan aborsi tidak diatur dalam draf RUU TPKS. Sebab, ada undang-undang lain yang sudah mengatur pemerkosaan dan aborsi.
Namun, untuk perkosaan masih dicantumkan sebagai salah satu jenis kekerasan seksual dalam undang-undang ini.
"Memang kita tidak memasukan pemerkosaan dan aborsi. Dari 9 jenis kekerasan seksual yang kita sebutkan di atasnya, pemerkosaan kita sebutkan jenis kekerasan seksual lainnya, itu di bawahnya ada," ujar Willy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (6/4).
Perkosaan tidak diatur dalam RUU TPKS karena sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bahkan dalam Rancangan KUHP (RKUHP) lebih lengkap lagi diatur mengenai perkosaan.
"Kenapa kita tidak masukan pemerkosaan. Satu, dia sudah ada di KUHP. RKUHP itu lebih komplet lagi," ujar Willy.
Sementara, aborsi juga sudah diatur dalam undang-undang lain yaitu UU Kesehatan. "Kenapa aborsi tidak kita masukan. Itu ada dalam UU Kesehatan. Jadi itu sudah cukup," jelas Willy.
Tak Ingin Tabrakan UU
Politikus NasDem ini mengatakan, tidak ingin RUU TPKS saling bertabrakan dengan undang-undang lain. Maka itu, diputuskan pemerkosaan dan aborsi tidak dimasukan.
"Kita tidak ingin satu norma hukum diatur dalam dua UU, karena akan terjadi overlapping," ujar Willy.
Namun, RUU TPKS memiliki keunggulan karena memiliki hukum acara sendiri. Jenis kekerasan seksual yang tidak masuk secara eksplisit dalam undang-undang ini, tetap bisa menggunakan hukum acara dalam TPKS.
"Misalnya seperti aborsi, pemerkosaan, TPPO, KDRT, perlindungan anak. Itu bisa pakai hukum acara TPKS," jelas Willy.
Sementara itu, dalam Pasal 4 RUU TPKS dijelaskan jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual. Total ada 19 jenis kekerasan seksual yang diatur.
Pada Pasal 4 ayat (1) disebutkan jenis kekerasan seksual yaitu; pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Pada ayat (2) ditambah lagi jenis kekerasan seksual, yaitu; perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap Anak; perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban; pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebelumnya, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan dampak dari tindakan tindak pidana pemerkosaan tidak masuk ke dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Ada dampaknya bagi perempuan ketika ia tidak diatur secara khusus di RUU TPKS," kata Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani di Jakarta, Selasa (5/4).
Dia menerangkan jika RUU KUHP belum berhasil direvisi, maka segenap persoalan di KUHP yang selama ini menjadi basis masyarakat untuk mendorong lahirnya RUU TPKS akan tetap ada.
Artinya, waktu tunggu hingga RUU KUHP direvisi atau dibetulkan bisa menjadi ruang kerugian khususnya bagi perempuan yang mengalami tindak pemaksaan hubungan seksual yang seharusnya masuk dalam tindak pidana perkosaan, atau yang bisa jadi diatur dalam RUU TPKS.
Kedua, jika masuk ke RUU KUHP maka proses silang rujuk dari sebuah rancangan undang-undang secara implementatif juga bisa menghadirkan ketegangan-ketegangan baru.
"Justru akan menyebabkan implementasinya lebih terhambat dibandingkan ia berada dalam satu undang-undang yang sama," ujarnya seperti dilansir dari Antara.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Nonaktifkan ETH Buntut Kasus Dugaan Pelecehan Seksual, 8 Kandidat Bersaing Jadi Rektor Universitas Pancasila
Keputusan menonaktifkan ETH ini berdasarkan hasil Rapat Pleno Yayasan pada hari Senin 26 Februari 2024.
Baca SelengkapnyaRespons Ketua KPU Hasyim Asy’ari Dilaporkan Anak Buah ke DKPP Terkait Dugaan Pelecehan Seksual
Hasyim kali ini dilaporkan atas dugaan pelanggaran etik pelecehan seksual.
Baca SelengkapnyaKetua KPU Hasyim Asy’ari Dilaporkan Anak Buah ke DKPP Terkait Dugaan Pelecehan Seksual
Korban dugaan pelecehan seorang perempuan yang bertugas sebagai Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN).
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Dieksekusi, 78 Pegawai KPK Serentak Minta Maaf Terlibat Pungli di Rutan
Permintaan maaf tersebut dibacakan langsung oleh para pegawai yang dijatuhi sanksi berat oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK.
Baca SelengkapnyaTNI Ungkap Peran 13 Prajurit Tersangka Penganiayaan Anggota KKB di Papua
TNI Ungkap Peran 13 Prajurit Tersangka Penganiayaan Anggota KKB di Papua
Baca SelengkapnyaRektor Universitas Pancasila Buka Suara Terkait Dugaan Pelecehan Seksual Terhadap Anak Buah
Kasus dugaan pelecehan seksual ini sebelumnya terbongkar usai korban mengadukan tindakan tak senonoh itu ke seorang pengacara.
Baca SelengkapnyaDituduh Melakukan Kekerasan Seksual, Ketua BEM UI Dinonaktifkan
Dia menerima apa yang telah menjadi keputusan organisasi tersebut. Dia pun akan mengikuti proses hukum yang berlaku.
Baca SelengkapnyaKenal Sejak SD, Prajurit TNI Asal Papua Ini Akui Punya Pacar Anak Bupati
Prajurti TNI putra Papua bagikan cerita saat menjalin asmara dengan anak Bupati. Seperti apa kisahnya?
Baca SelengkapnyaOtak Pungli di Rutan KPK Diperiksa Sebagai Saksi, Ini yang Bakal Didalami Penyidik
Hengki merupakan ASN yang saat ini bertugas di Pemprov DKI Jakarta. Pada jabatan sebelumnya di KPK, ia bertugas sebagai Keamanan Ketertiban di Rutan KPK.
Baca Selengkapnya