Tak setuju pasal 245 di UU MD3, Laode M Syarif siap mundur dari KPK
Merdeka.com - Komisi III DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) lanjutan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam RDP, Wakil ketua KPK Laode M Syarif menyoroti pasal 245 mengenai pemanggilan dan permintaan keterangan penyidikan kepada anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis presiden dan pertimbangan MKD.
Laode tetap kukuh bahwa pasal tersebut tak sesuai dengan prinsip hukum. Dia juga rela keluar dari KPK guna mempertanggungjawabkan argumennya.
"Presiden tidak mendapatkan perlindungan kalau melakukan tindak pidana. Kalau ada pasal seperti itu di gedung yang mulia ini, saya rela keluar, bukan hanya keluar dari ruangan, keluar dari KPK juga tidak apa-apa, itu konsen saya yang belajar ilmu hukum," ujar Laode saat RDP di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Selatan, Selasa (13/2).
"KPK berpedoman pada UU KPK dan KUHAP yang di dalamnya tidak mewajibkan KPK untuk mendapatkan izin karena itu adalah tindak pidana korupsi," tambah Laode.
Sebelum pernyataan Laode terlontar, Politikus Demokrat Erma Suryani melayangkan pernyataan bahwa Laode tak memahami pasal itu dengan jelas. Erma juga menegaskan, derajat pihaknya sama di muka hukum dengan rakyat Indonesia.
"Kalau kita kuliah pengantar ilmu hukum, merenung dan seterusnya, Saya awalnya berpikir pak Laode ini belum membaca pasal 245 yang secara jelas ini pak," ucap Erma.
"Saya merasa Abang tidak baca itu Pasal karena memang perlu tahu bahwa UU ini tidak pernah meletakkan kami berdiri di atas warga negara Indonesia yang lain," tambah Erma.
Menimpali pernyataan Erma, Politikus PDIP Mansiton Pasaribu melihat bahwa Laode tak mencermati undang-undang MD3. Bahkan Mansiton menyuruh Laode membaca ulang kembali isi pasal tersebut. Dia juga tak ingin Laode menganggap bahwa pasal ini kebal terhadap hukum.
"Apa yang disampaikan saudara Laode ini karena beliau belum baca tapi sudah mengomentari," ujar Mansiton.
"Saya sih suruh saudara baca UU MD3-nya dulu yang telah direvisi, begitu lho. Pasal 245 itu jelas kok. Kita bukan mengatur bahwa kita menjadi kebal terhadap pidana khusus. Jelas itu diatur," ucapnya.
Menanggapi hal tersebut, Laode berpendapat bahwa KPK berdiri pada prinsip hukum Equality before the law yang bermaksud semua sama di mata hukum entah itu pejabat negara maupun rakyat biasa.
"Saya yakin Pak Masinton dan saya pernah lulus pengantar ilmu hukum. Equality Before the law itu adalah prinsip yang tak bisa kita tidak hormati dan karena itu pada putusan MK sebelumnya itu sudah ditiadakan, tapi dia (Pasal 245) keluar lagi," pungkas Laode.
Untuk diketahui, pasal 245 yang dipersoalkan ini berbunyi :
"(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan"
"(2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR :
a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana.
b. Disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
c. Disangka melakukan tindak pidana khusus.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Mahfud menegaskan keberadaan lembaga antirasuah itu masih sangat dibutuhkan untuk memberantas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Baca SelengkapnyaAS ditahan 20 hari pertama terhitung tanggal 23 Februari 2024 sampai dengan 13 Maret 2024 di Rutan KPK.
Baca SelengkapnyaArief Prasetyo meminta penjadwalan ulang. Ali menjamin, KPK akan menginformasikan jadwal pemeriksaan berikutnya.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
OTT terkait kasus dugaan korupsi pemotongan insentif ASN Sidoarjo yang mencapai Rp2,7 Miliar.
Baca SelengkapnyaAzis Syamsuddin merupakan mantan terpidana kasus korupsi.
Baca SelengkapnyaBupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali atau Gus Muhdlor menyatakan menghormati langkah (KPK menetapkan dirinya sebagai tersangka korupsi.
Baca SelengkapnyaAkibatnya, kebocoran infomasi kerap membuat gagal operasi tangkap tangan (OTT).
Baca SelengkapnyaRDP dengan Komisi II kemungkinan baru akan digelar setelah rekapitulasi perolehan suara Pemilu 2024.
Baca SelengkapnyaModusnya, para pelaku melakukan korupsi dengan sengaja memecah proyek
Baca Selengkapnya