Saksi Ahli Sebut Penyidikan Kasus Imam Nahrawi Harus Diulang Gunakan UU yang Baru
Merdeka.com - Ahli Hukum Pidana dari Universitas Bhayangkara Surabaya Muhammad Solehudin mengatakan, penyidikan KPK yang masih dalam proses hukum saat ini harus menggunakan undang-undang yang baru, jika tidak dianggap tidak sah. Hal ini ia sampaikan saat dirinya bersaksi sebagai ahli pidana dari pihak Imam Nahrawi dalam sidang praperadilan.
Solehudin yang mengaku sebagai salah satu pihak perumus UU nomor 19/2019 tentang KPK. Awalnya diminta menjelaskan mengenai perkara Imam Nahrawi yang masih berstatus sebagai tersangka dalam proses penyidikan, tetapi UU KPK yang baru sudah berlaku.
"Pertanyaan saya ahli, mohon berikan penjelasan pasal 70C. Pada saat UU ini berlaku, semua tindakan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur di undang-undang ini. Katakanlah, pada diri pemohon masih melekat sebagai tersangka dengan berlakunya undang-undang yang baru. Bagaimana kaitan dengan sprindik yang dikeluarkan KPK?," tanya kuasa hukum Imam, Saleh di PN Jakarta Selatan, Rabu (6/11).
Solehudin menjelaskan, ketika UU KPK yang baru sudah berlaku, maka semuanya harus menggunakan aturan yang baru. Lalu, disaat suatu proses hukum belum selesai, maka harus menggunakan aturan baru.
"Ketika UU ini sudah berlaku yang baru ini, maka semuanya harus menggunakan ketetapan di dalam UU yang baru ini. Kalau proses hukumnya itu belum selesai dibandingkan dengan pasal 1 ayat 2 KUHP. Pasal 1 ayat 2 KUHP, jika proses hukum atau belum ada putusan hakim, maka kemudian ada perbuatan, maka terdakwa ini diputus oleh hakim menggunakan aturan yang meringankan atau menguntungkan terdakwa," jelasnya.
"Pasal 70 C itu bandingannya dengan itu. cuma dia masuk pada pasal subsidialitas. Ketika proses hukum itu belum selesai dan sudah dilakukan penyelidikan, penyidikan dan macam-macam, maka ketika dia belum selesai harus menggunakan aturan-aturan di dalam UU yang baru. Itu konsekuensi," sambungnya.
Pimpinan KPK Bukan Lagi Penyidik
Solehudin menerangkan, pada UU KPK yang baru itu pimpinan KPK bukan lagi penyidik. Untuk proses hukum penyidikan sebelumnya, harus diulang menggunakan UU KPK yang baru.
"Kalau kemudian di UU yang baru, pasal 21 UU yang berlaku pimpinan KPK bukan lagi sebagai penyidik, bukan penuntut, sementara katakan pada diri pemohon ditetapkan tersangka itu ditandatangani oleh pimpinan KPK. Sementara pasal 70 C mengamanatkan penyelidikan itu harus tunduk kepada UU ini. Sementara pimpinan KPK itu hari ini di Pasal 21 hanya sebagai lembaga. Bagaimana konsekuensi terhadap sprindik maupun yang dikeluarkan oleh pimpinan?," tanya Saleh.
"Maka itu harus diulang semua. Itu konsekuensi atau sanksi ketika proses hukum itu tidak bisa diselesaikan dalam waktu yang sudah ditentukan. Ketika dalam waktu yang ditentukan ada perubahan undang-undang maka undang-undang itulah yang berlaku. UU yang baru yang berlaku," jawab Solehudin.
"Ya karena sudah dianggap tidak berlaku lagi, maka itu tidak dipakai (Sprindik). Batal dia kalau dalam istilah hukum kan batal karena tidak memenuhi syarat lagi sebagai yang telah ditetapkan oleh UU," tambahnya.
Solehudin yang mengaku sebagai pihak penyusun naskah akademik UU KPK yang baru juga mengaku pernah diundang bersama ahli hukum lainnya untuk memberi masukan terkait revisi UU KPK.
"Sebenarnya saya bertindak membuat draft akademik dari RUU KPK termasuk dimulai ketika ada Pansus Hak Angket terhadap KPK. Saya sebagai narasumber bersama Prof Romli Kartasasmita, saya, kemudian Prof Mahfud Md dan Prof Yusril Ihza Mahendra termasuk Pansus Hak Angket terhadap KPK. Karena di situ banyak ditemukan kelemahan-kelemahan dalam proses perjalanan KPK setelah 17 tahun. Maka di situ ditemukan kelemahan-kelemahan dan ini kita kaji secara keilmuan, akhirnya muncul lah gagasan untuk melakukan amandemen terhadap UU KPK itu," ungkapnya.
Selain itu, Solehudin juga dimintai tanggapan terkait KPK yang mengibaratkan Asisten Pribadi Imam yakni Miftahul Ulum sebagai perpanjang tangan Menpora. Menurutnya, pertanggungjawaban pidana ada pada orang perseorang, kecuali perkara tersebut merupakan penyertaan.
"Sekali lagi, pertanggungjawaban pidananya bersifat personel orang perseorangan, ya itu lah yang bertanggung jawab sepanjang enggak bisa dibuktikan adanya penyertaan. Misalnya, apakah sebagai pelaku, apakah seorang yang menyuruh melakukan turut melakukan atau sebagai orang yang melakukan sendiri. Tidak ada istilah representasi dalam konsep hukum pidana," tutupnya.
(mdk/bal)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Imam Nahrawi tetap harus wajib lapor ke Balai Pemasyarakatan (Bapas) Bandung, setelah bebas bersyarat.
Baca SelengkapnyaDia menilai masih banyaknya dugaan pelanggaran etika oleh KPU dan Bawaslu.
Baca SelengkapnyaTermasuk mengangkat isu Patung Yesus yang sebenarnya telah dibahas dan telah diselesaikan oleh unsur Forkopimda dan para tokoh di Intan Jaya.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) menetapkan 1 Ramadan 1445 Hijriah jatuh pada tanggal 12 Maret 2024
Baca SelengkapnyaMenurut Yusril, tafsir atas pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak dapat dibatasi hanya pada PKPU saja.
Baca SelengkapnyaDia menyebut, seorang pemimpin yang berpikir sangat legalistik bakal mementingkan kemauan diri sendiri.
Baca SelengkapnyaBrigadir Jenderal Hengki Haryadi baru saja meraih gelar Doktor Ilmu Hukum di Universitas Diponegoro.
Baca SelengkapnyaCak Imin ini pun diajak oleh mantan Gubernur DKI Jakarta untuk mengulang kembali ucapannya.
Baca SelengkapnyaAnies berharap dengan dukungan ulama ini, jangkauannya akan semakin meluas.
Baca Selengkapnya