Menkum HAM Jelaskan Pasal RUU KUHP yang Dinilai Kontroversial
Merdeka.com - Pemerintah dan DPR sepakat menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang KUHP. Keputusan ini diambil lantaran draf RUU KUHP menuai polemik dan mendapatkan kritikan publik.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan, banyak yang salah memahami pasal per pasalnya. Salah satunya soal gelandangan.
Pada Pasal 431 tertulis: Setiap Orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I. Yasonna menjelaskan maksud dari pidana ini.
"Gelandangan itu, kalau Belanda (KUHP yang lama) pakai hukum badan. Kalau sekarang (RUU KUHP) denda, enggak cukup dia bayar, hakim bisa memberikan hukuman alternatif. Diserahkan untuk dididik di panti-panti pendidikan pemerintah. Bisa dikasih kerja di dinas sosial. Suruh sapu jalan, nanti kami bayarin pasukan kuning itu," kata Yasonna di kantornya, Jakarta, Rabu (25/9).
"Kurang baik apa ini. Terus ini dibilang kontroversial, mari kita lawan. Ya kan," lanjut dia.
Kemudian, soal pasal penghinaan Presiden. Pasal 219 berbunyi: Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Yasonna mengatakan, keberadaan pasal tersebut diperlukan. Negara lain pun menerapkan ini. Terlebih di Indonesia yang menjunjung tinggi budi pekerti.
"Saya sependapat kalau menghina harkat dan martabat Presiden itu dilarang. Di Jepang juga dilarang, itu di beberapa negara dilarang. Saya diajarkan orang tua saya, senior-senior saya, belajar budi pekerti. Negara yang berlandaskan Pancasila, kita diajarkan," ungkap Yasonna.
Yasonna beralasan, pemerintah tak ingin mewarisi perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai keadaban bangsa.
"Kalau masih mau exchange, boleh. Bahwa kami mau menjelaskan kalau penghinaan kepada jabatan Presiden," jelas Yasonna.
Menurutnya, selama ini Presiden Jokowi sudah biasa dihina. Dia mencontohkan gambar hidung pinokio Presiden Jokowi.
"Hidung saya diginiin, kayak, sudah deh. Adik-adik kita pendukung Pak Presiden, bisa tersinggung level keberadabannya," katanya.
"Keberadaban kita ini, membuat kita menjadi sangat liberal. Sehingga bisa memaki orang itu sah. Mau kemana bangsa ini kita bawa. Nilai-nilai Pancasila ini sudah mau mati," ucapnya.
Reporter: Putu Merta Surya PutraSumber: Liputan6.com
Jangan Lewatkan:
Ikuti Polling Bagaimana Pendapat Anda soal RUU KUHP? Klik di Sini!
(mdk/noe)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Ari menjelaskan baik dari kubu 01 dan 03, sama-sama menemukan fakta.
Baca SelengkapnyaMahkamah Konstitusi atau MK akan memproses Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Termasuk menyidangkan sengketa Pemilu 2024.
Baca SelengkapnyaMajelis Hakim juga menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani oleh Panji Gumilang bakal dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
MK bakal menggelar Rapat Permusyawakaratan Hakim untuk membahas posisi Arsul Sani.
Baca SelengkapnyaKetua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari dinyatakan melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu oleh DKPP terkait pencalonan Gibran
Baca SelengkapnyaKubu Dito menyebut majelis hakim sudah menetapkan terdakwa tetap ditahan di Rumah Tahanan Salemba Cabang Kejaksaan Agung.
Baca SelengkapnyaHukum sikat gigi saat puasa memiliki pendapat yang beragam di kalangan ulama.
Baca SelengkapnyaGus Yahya mengingatkan, istigasah merupakan penanda tonggak perjuangan NU dalam mewujudkan kemaslahatan untuk semesta
Baca SelengkapnyaMengganti puasa Ramadhan ini juga bisa disebut dengan puasa Qadha. Layaknya puasa lainnya, ada niatan puasa ganti Ramadhan yang perlu diketahui.
Baca Selengkapnya