Mendagri Tantang Bertemu Kepala Daerah yang Tak Keluar Ongkos Politik Pilkada
Merdeka.com - Usulan agar sistem Pilkada langsung dikaji ulang, kembali mencuat. Salah satu alasannya karena sistem pemilihan secara langsung banyak mudaratnya dan biaya politiknya tinggi.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengungkit mahalnya ongkos Pilkada secara langsung di hadapan anggota DPD RI dalam rapat bersama di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11). Dari perhitungannya, untuk mencalonkan diri sebagai Bupati, seseorang bisa mengeluarkan kocek Rp 30 miliar. Angkanya bisa semakin tinggi mulai dari bupati hingga gubernur.
Tito menantang bertemu kepala daerah yang tidak mengeluarkan uang sepeserpun agar terpilih.
"Ya kalau ada yang menyatakan ga bayar nol persen, saya pengen ketemu orangnya," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11).
Pernyataan tersebut berkaitan dengan evaluasi Pilkada langsung. Menurut Tito sistem pemilihan kepala daerah saat ini membuka peluang kepala daerah untuk korupsi. Sebab, biaya untuk pencalonan sebagai kepala daerah sangat mahal.
Di sisi lain, gaji kepala daerah selama lima tahun tidak menutup ongkos politik yang dikeluarkan selama Pilkada. Tito bakal memberi hormat jika ada kepala daerah yang bersedia rugi atas nama pengabdian kepada masyarakat.
"Kalau dia mau tekor saya mau hormat sekali, itu berati betul-betul mengabdi untuk nusa bangsa gitu. Tapi yang apakah ada 1001? Mungkin ada, mungkin. Mungkin juga enggak. Saya mohon juga kalau tidak ada," kata mantan Kapolri itu.
Klaim Jokowi Tak Keluarkan Ongkos Politik
Presiden Jokowi pernah menyatakan komitmennya untuk mengurangi politik berbiaya tinggi. Salah satunya dengan rekrutmen yang berbasis kompetensi. Dia mencontohkan saat menjadi cagub DKI Jakarta.
"Saya tidak mengeluarkan uang sama sekali, pak prabowo tahu mengenai itu. Ketua-ketua partai tahu itu. Memang ini membutuhkan proses panjang," kata Jokowi saat debat capres, Januari 2019.
Disorot KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi dikarenakan tingginya biaya politik. Biaya politik yang tinggi dan tak sepadan dengan gaji yang didapatkan saat menjadi kepala daerah membuat orang nekat melakukan korupsi.
Hitungan KPK, untuk menjadi bupati di Sumatera Utara butuh hingga Rp20 miliar. Sedangkan gaji kepala daerah hanya Rp5 juta per bulan dan ditambah tunjangan maka total yang diperoleh jauh dari Rp20 milliar. Lalu mereka nekat korupsi.
KPK meyakini biaya politik yang tinggi tak membuat kepala daerah mengabdi dengan tulus. Kepala daerah yang lahir dari biaya politik tinggi menginginkan balik modal.
(mdk/noe)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Mendagri Tito Karnavian menegaskan Gubernur DKJ dipilih langsung oleh rakyat bukan ditunjuk Presiden.
Baca SelengkapnyaPenggugat belum menempuh upaya administratif yang diwajibkan peraturan yang berlaku.
Baca SelengkapnyaMenteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, membeberkan urgensi pembentukan Dewan Aglomerasi yang meliputi Jakarta dan kota sekitarnya.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Tuntutan tersebut dibacakan Jaksa setelah menilai Dadan terbukti sebagai makelar kasus kepengurusan di MA bersama dengan Sekretaris MA; Hasbi Hasan.
Baca SelengkapnyaKasus dugaan gratifikasi tersebut bakal berlanjut di meja hijau setelah tim jaksa KPK menilai unsur pidana telah lengkap.
Baca SelengkapnyaHadi Tjahjanto resmi menjadi Menko Polhukam setelah dilantik Presiden Jokowi, hari ini Rabu (21/2)
Baca SelengkapnyaPresiden sudah akan menaikkan pangkatnya bulan Agustus. Tapi dia menolak kesempatan langka menjadi jenderal.
Baca SelengkapnyaOTT terkait kasus dugaan korupsi pemotongan insentif ASN Sidoarjo yang mencapai Rp2,7 Miliar.
Baca SelengkapnyaPKB setuju usulan PKS itu karena setelah RUU DKJ ditetapkan menjadi undang-undang, maka Jakarta bakal berganti status.
Baca Selengkapnya