Masjid Lautze Bandung, wadah toleransi antar umat beragama
Merdeka.com - Sesuai misinya bahwa Masjid Lautze 2 ini bukan saja tempat peribadahan melainkan sarana informasi Islam. Ketika pemberitaan di media mengenai intoleransi antar umat beragama memudar, masjid yang berada di Jalan Tamblong 27, Kota Bandung ini justru sebaliknya.
Indahnya merasakan pembauran di masjid yang kental dengan nuansa oriental ini. Semua orang bisa keluar dan masuk ketika hendak beribadah. Namun tak jarang umat non muslim juga bisa berbaur.
Ketika terorisme marak, yang selalu diidentikan dengan umat muslim, banyak orang datang dan mempertanyakan hal itu. Di masjid yang mulanya hanya sebuah ruko ini, mereka yang datang justru dari non muslim. Di sini ustad bersedia menyampaikan apa itu Islam.
"Sangat banyak orang yang datang ke sini untuk menanyakan apa itu Islam, artinya bahwa non muslim pun tidak sungkan untuk datang ke sini," kata Humas Lautze 2, Jesslyn saat berbincang dengan merdeka.com beberapa waktu lalu.
Pihaknya pun tak sungkan untuk menerima kedatangan tamu yang sebatas hanya ingin tahu tentang Islam. Sebab awal mula berdiri, di sini adalah cikal bakal jejak Tionghoa menyebarkan Islam. Sehingga ketika orang bicara Islam di sini, tidak ada lagi perbedaan.
"Ketika orang berbicara Islam di masjid ini tidak ada lagi yang namanya tukang becak, bos, Cina, pribumi, sebab semua menjadi berbaur di sini. Berbicara Islam itu artinya lintas budaya," jelasnya.
Selain aktivitas peribadahan dan juga konsultasi, di masjid yang dihiasi ornamen lampu khas kelenteng ini juga kerap dijadikan aktivitas mengaji dan belajar agama anak-anak sekitar. Apalagi saat bulan Ramadan, aktivitas di sini sangatlah ramai. Mulai dari buka bareng, tarawih, bahkan hingga saur.
"Artinya masjid ini adalah tempat bersama. Tempatnya umat Tuhan untuk berbaur," ujarnya.
Dia menyampaikan bagi siapa saja yang tertarik sebatas bertanya akan sejarah masjid, berbicara Islam, belajar agama, dan sharing, janganlah sungkan untuk masuk. Memang masjid ini cenderung tertutup karena situasinya yang berada di pinggir jalan utama.
"Untuk menghindari kebisingan saja, dan debu yang mudah masuk, jadi pintunya ditutup, padahal jika orang masuk kami siap menerimanya," ungkapnya.
Saat merdeka.com menyambangi masjid ini kebetulan sedang ada aktivitas salat Jumat. Kapasitas masjid yang hanya menampung sekitar 70 orang itu menjadi padat, bahkan meluber hingga trotoar pinggir jalan. Alhasil dari sekitar 150 orang yang menjalankan ibadah di sana, sebagian harus berada di luar.
Di situ semua orang berbaur. Meski kondisinya pribumi mendominasi, tapi Tionghoa pun tampak bersatu dengan maksud sama, yakni beribadah.
Sedikit berkisah ke belakang, bahwa memang sejak awal mula didirikan, seorang mualaf Tionghoa bernama Oei Tjeng Hien atau biasa dikenal dengan nama Haji Karim Oei mendirikan Lautze sebagai wadah informasi bagi etnis Tionghoa.
Kali pertama Yayasan Karim Oei-lah mendirikan Masjid Lautze di daerah Pecinan Jakarta pada 1991. Sadar penyebaran informasi tak hanya bisa di satu tempat, dia pun mendirikan di kota lainnya yang tak lain adalah Bandung pada tahun 1997.
Sepuluh tahun sejak didirikan, masjid ini mengalami renovasi hasil tangan arsitek Institut Teknologi Bandung, Umar Widagdo. Hasilnya adalah warna merah mendominasi interior dan exterior masjid yang kemudian dipadukan dengan beberapa ornamen seperti lampu, tangga, dan partisi yang diukir ala ornamen-ornamen Cina.
Andai kini Karim Oei masih hidup mungkin dia akan tersenyum manis. Karena keinginannya untuk bisa menyebarkan dan menjadi wadah informasi Tionghoa terkabul. Hal itu yang kini diperlihatkan Masjid Lautze 2.
Begitu kental sikap toleransi antar umat beragama di masjid ini. Masjid sering penuh, aktifitas pun tak pernah sepi.
"Kita ingin terus ini dipertahankan, bahkan meneruskan cita-cita sang pendiri wacana pembangunan Lautze lainnya sedang kita pikirkan, doakan saja," imbuhnya.
(mdk/lia)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Masjid ini membawa misi toleransi di Kota Tangerang.
Baca SelengkapnyaMasjid unik ini gunakan nama bahasa Sunda bukan Arab. Ini fakta di baliknya.
Baca SelengkapnyaBocah itu sempat dilaporkan hilang saat orang tuanya berkegiatan di Masjid Raya Al-Jabbar pada Minggu (17/12) malam.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Begini sejarah Masjid Ats Tsauroh Serang yang bergaya pendopo kuno
Baca SelengkapnyaSaat itu keberadaan dua masjid agung di satu kota dianggap tak wajar.
Baca SelengkapnyaBuka puasa itu terasa akrab lantaran Retno bisa bertemu dengan para WNI.
Baca SelengkapnyaMayjen Kunto Arief Wibowo tunjukkan tanah makam yang sudah 'dipesan' olehnya.
Baca SelengkapnyaAda anggapan bahwa masjid ini tiba-tiba ada dan pembangunannya dibantu jin
Baca SelengkapnyaSudah berdiri sejak tahun 1722 tiang penyangga masih terjaga keasliannya hingga sekarang.
Baca Selengkapnya