Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

KPCDI akan Gugat Lagi Perpres Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

KPCDI akan Gugat Lagi Perpres Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Jokowi Pimpin Rapat Kabinet Paripurna Perdana di Istana. ©2019 Liputan6.com/Angga Yuniar

Merdeka.com - Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) tak kehabisan akal mendengar pemerintah terbitkan Perpres baru untuk kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan setelah dibatalkan MA.

Sebelumnya, KPCDI menang gugatan ke MA atas kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. KPCDI berencana kembali mengajukan uji materi atas Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang baru saja diteken Presiden Jokowi.

Kuasa hukum KPCDI, Rusdianto Matulatuwa menjelaskan alasannya kembali mengajukan uji materi kedua kalinya. Karena negara dianggap lalai terhadap tanggung jawab terhadap rakyatnya.

"Kami sedang (persiapkan) mengajukan untuk menguji materi jilid 2, terpaksa. Kami enggak punya pilihan. Ini harus disadari pemenuhan kesehatan terhadap warga ini kan tanggung jawab negara," kata Rusdianto kepada merdeka.com, Rabu (13/5).

Nantinya, Rusdi juga menuntut agar BPJS mengembalikan lebih bayar setelah putusan MA Nomor 7P/HUM/2020. Dia mengatakan, gugatan ini penting dimuat karena BPJS tidak mengembalikan lebih bayar iuran warga kendati Mahkamah Agung memutuskan tarif BPJS dikembalikan ke harga sebelum kenaikan.

Tak ingin tertipu kedua kalinya, Rusdi mengaku isi permohonan ini sebagai antisipasi jika MA kembali mengabulkan gugatannya.

"Yang sekarang ini tentunya saya ingin pembatalan (kenaikan iuran) kalaupun ini dia tetap maksa naik ketika ini dibatalkan saya minta dikembalikan karena aku yakin ketika dinaikkan di bulan Juli ini katakanlah putusanku September-Oktober maka Juli itu dia sudah tagih baru. Begitu diperkenankan ini bisa dikembalikan lagi dalam bentuk awal yang sudah ditagih itu kayak kemarin enggak dia pulangin," jelasnya.

Rusdi mengkritik pemerintah atas mekanisme kenaikan iuran BPJS yang menurutnya semakin mencekik masyarakat. Menurutnya, telah terjadi pergeseran dari tanggung jawab.

Kendati BPJS mengklaim kenaikan ini mendapat dukungan dari DPR, Rusdi menilai pernyataan tersebut hanya sebagai intrik pembenaran.

"Itu hanya pembenaran untuk melegitimasi apa yang akan dia lakukan, kenyataannya selama ini dia suka melakukan intrik-intrik," tandasnya.

Diketahui, Presiden Joko Widodo menaikkan iuran BPJS Kesehatan per 1 Juli 2020. Hal tersebut tertuang pada Perpres nomer 64 tahun 2020, yang menjelaskan bahwa iuran berlaku untuk kelas I dan kelas II terlebih dulu. Sementara iuran kelas III baru akan naik pada tahun 2021 mendatang.

Padahal, sebelumnya pemerintah telah membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan setelah Mahkamah Agung mengabulkan gugatan pembatalan kenaikan iuran yang diajukan oleh Ketua Umum Komunitas Pasien cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir pada 2 Januari 2020.

Dalam Pasal 34 di Perpres yang baru diterbitkan Jokowi, iuran BPJS Kesehatan kelas I sebesar Rp150.000 per orang per bulan dibayar oleh peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta BP. Sementara iuran BPJS Kesehatan kelas II sebesar Rp100.000 per orang per bulan dibayar oleh peserta PBPU dan peserta BP.

Sedangkan, iuran untuk kelas III untuk tahun ini sebesar Rp25.500 per orang per bulan dibayar oleh peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan peserta BP. Sementara untuk tahun 2021 dan tahun berikutnya menjadi Rp35.000.

"Ketentuan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2020," bunyi Pasal 34 ayat 6.

Dengan demikian, untuk Januari, Februari, dan Maret 2020, iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP kelas I sebesar Rp160.000, kelas II sebesar Rp110.000, dan kelas III sebesar Rp42.000. Sementara untuk April, Mei, dan Juni 2020, kelas I sebesar Rp80.000, kelas II sebesar Rp51.000, dan kelas III sebesar Rp25.500.

"Dalam hal Iuran yang telah dibayarkan oleh Peserta PBPU dan Peserta BP melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8), BPJS Kesehatan memperhitungkan kelebihan pembayaran Iuran dengan pembayaran iuran bulan berikutnya," bunyi Pasal 34 ayat 9.

3 Aspek Penting Dalam Putusan MA

Menurutnya, ada tiga aspek alasan MA memutuskan untuk menolak kenaikan iuran BPJS yang tertuang pada Perpres sebelumnya, Nomor 75 Tahun 2019.

Pertama, BPJS dianggap belum memberikan fasilitas pelayanan yang baik. "Kami, saya bukan mengharamkan kenaikan iuran, tapi kenaikan harus selaras dengan perbaikan pelayanan," kata Rusdianto kepada merdeka.com, Rabu (13/5).

Dalam pertimbangan majelis hakim terhadap putusan uji materi menyatakan bahwa masih ada ego sektoral antar pihak terkait dalam merumuskan kebijakan penyelenggaraan jaminan kesehatan. Hal ini berdampak secara sistemik terhadap pelayanan.

"Diskriminasi dalam pemberian pelayanan pada pasien, pembatasan kuota dan keterlambatan dokter dari jadwal yang sudah ditentukan, pelayanan administrasi yang tidak profesional; bertele-tele, tidak maksimal, fasilitas yang tidak sesuai dengan fasilitas yang tertera pada kartu."

Faktor kedua, Mahkamah Agung menimbang kenaikan iuran BPJS tidak tepat jika dilihat dari segi ekonomi. Terlebih lagi, dalam pertimbangan tersebut hakim merujuk pada kondisi ekonomi global yang tidak menentu.

Lebih lanjut, majelis hakim juga berpendapat berdasarkan bukti yang diajukan pemohon dan termohon penyebab defisit BPJS Kesehatan karena adanya kecurangan atau kesalahan pengelolaan.

Jika demikian, majelis hakim menilai kerugian ataupun defisit yang terjadi dilarang untuk dibebankan kepada rakyat.

"Kesalahan pengelolaan BPJS yang menimbulkan defisit tidak boleh dibebankan kepada masyarakat dengan menaikan iuran bagi peserta PBPU dan peserta BP apalagi dalam kondisi ekonomi global saat ini yang sedang tidak menentu."

"Terkait dengan masalah kelesuan ekonomi itu, Mahkamah Agung sudah bicara bulan Februari. Bulan Februari itu belum ada Covid, MA sudah bicara masalah kelesuan ekonomi apalagi sekarang," kata Rusdianto.

Faktor ketiga adalah adanya manajemen yang buruk terhadap BPJS sehingga secara terus menerus mengalami defisit. Lebih lanjut, skema kenaikan iuran dianggap tidak mempertimbangkan kemampuan masyarakat untuk membayar kenaikan tersebut.

"Berdasarkan fakta yang tidak perlu dibuktikan lagi ternyata untuk menutupi defisit anggaran BPJS, pemerintah telah beberapa kali menyuntikkan dana akan tetapi anggaran BPJS masih saja defisit. Oleh karena itu, menurut Mahkamah Agung ada akar masalah yang terabaikan yaitu manajemen secara keseluruhan oleh BPJS."

(mdk/rnd)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Tunggu Arahan KPU Soal ODGJ Mencoblos Pemilu, RSKD Dadi Makassar Siapkan 14 Dokter Psikiatri
Tunggu Arahan KPU Soal ODGJ Mencoblos Pemilu, RSKD Dadi Makassar Siapkan 14 Dokter Psikiatri

RSKD Dadi Makassar merupakan rumah sakit khusus untuk penanganan pasien dengan gangguan kejiwaan.

Baca Selengkapnya
Jokowi Pastikan Puskesmas Punya Alat USG Kehamilan, Kesehatan Ibu dan Bayi Terjamin!
Jokowi Pastikan Puskesmas Punya Alat USG Kehamilan, Kesehatan Ibu dan Bayi Terjamin!

Pemerintah telah mendistribusikan alat USG kepada 10 ribu puskesmas di seluruh Indonesia.

Baca Selengkapnya
Menuju Indonesia Adil Makmur, Anies Janjikan Akses Kesehatan Berkualitas
Menuju Indonesia Adil Makmur, Anies Janjikan Akses Kesehatan Berkualitas

Peran pemangku kepentingan diperlukan agar tidak menciptakan kebijakan yang saling tumpang tindih.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Menkes Minta Anggaran Kesehatan Diprioritaskan: Sehat Mesti Duluan daripada Pintar
Menkes Minta Anggaran Kesehatan Diprioritaskan: Sehat Mesti Duluan daripada Pintar

Menurut Budi, syarat untuk mencapai generasi emas 2045 ialah harus sehat dan pintar.

Baca Selengkapnya
Beda Program Ganjar dan Prabowo Versi Sekjen PDIP
Beda Program Ganjar dan Prabowo Versi Sekjen PDIP

Hasto menyebut berbagai program Ganjar-Mahfud di Pilpres 2024 memang lebih besar mencapai Rp 506 triliun.

Baca Selengkapnya
Menkes Beberkan Data Jumlah Petugas Pemilu 2024 Meninggal Turun Dibanding 2019
Menkes Beberkan Data Jumlah Petugas Pemilu 2024 Meninggal Turun Dibanding 2019

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut, data petugas pemilu 2024 yang meninggal tahun ini turun jauh ketimbang tahun 2019.

Baca Selengkapnya
Media Sosial Mulai Hangat Jelang Pemilu 2024, Ini Pesan Kapolri
Media Sosial Mulai Hangat Jelang Pemilu 2024, Ini Pesan Kapolri

Jenderal Bintang Empat tersebut pun mewanti-wanti pentingnya menjaga kerukunan dan perdamaian selama proses pemilu.

Baca Selengkapnya
Jokowi Minta KPU Netral di Pemilu 2024: Bertindak Sesuai Aturan Saja Dicurigai
Jokowi Minta KPU Netral di Pemilu 2024: Bertindak Sesuai Aturan Saja Dicurigai

Jokowi ingin KPU bertindak sesuai aturan pada pesta demokrasi lima tahunan.

Baca Selengkapnya
Jokowi Janjikan Tunjangan Kinerja Petugas KPU Selesai Januari: Urusan Sensitif Jangan Ganggu Pemilu
Jokowi Janjikan Tunjangan Kinerja Petugas KPU Selesai Januari: Urusan Sensitif Jangan Ganggu Pemilu

Jokowi menyebut Pemilu 2024 sangatlah kompleks karena melibatkan 204.807.222 orang, di 38 provinsi, 514 kabupaten/kota, 7.277 kecamatan, 83.771 desa.

Baca Selengkapnya