Merdeka.com - Sepertinya pemilihan rais aam di Muktamar ke 33 Nahdlatul Ulama (NU) di Jombang, Jawa Timur sengaja diarahkan ke sistem Ahlul halli wal aqdi (Ahwa). Ini dibuktikan dengan adanya pertemuan 22 kiai pimpinan pondok pesantren, yang digelar di Kantor PWNU Jawa Timur, Jalan Masjid Agung Surabaya, Kamis (30/7).

Pertemuan alim ulama se-Jawa Timur yang dipimpin KH Anwar Iskandar itu memutuskan untuk menindaklanjuti keputusan Munas Alim Ulama di Jakarta beberapa waktu lalu soal sistem pemilihan rais aam dengan model Ahwa.

Forum silaturahmi alim ulama menyambut Muktamar NU di Jombang itu, menghasilkan keputusan; para pimpinan pondok pesantren di Jawa Timur sepakat menggunakan sistem Ahwa untuk pemilihan rais aam di muktamar yang akan digelar pada 1 hingga 5 Agustus mendatang.

"Kami menyerukan kepada seluruh muktamirin (peserta muktamar) agar senantiasa menjaga persatuan dan mengedepankan musyawarah mufakat (Ahwa) pada pemilihan pimpinan NU di muktamar nanti," terang Kiai Anwar dari Kediri.

Ada lima pertimbangan, yang pertama adalah khulafaurrasyidin pada masa lalu‎ dipilih dan diangkat oleh Ahwa, yang kemudian diadopsi pada awal masa berdirinya NU serta dilakukan di Muktamar Situbondo Tahun 1984.

Yang kedua, Ahwa adalah harga mati untuk menjaga martabat ulama sebagai pemegang amanah tertinggi NU. Kemudian, Ahwa juga dipandang lebih maslahah dan mengurangi mafasid dalam pemilihan.

Ke empat, lanjut Kiai Anwar, Ahwa tidak bertentangan dengan AD/ART NU dan menyesuaikan hasil Munas Alim Ulama NU pada 2 November 2014.

Sementara itu, KH Miftachul Ahyar dari Ponpes Miftahul Sunnah Surabaya mengatakan, Ahwa itu wajib, bukan pilihan. Bahkan terkait kelompok penentang Ahwa (voting), Kiai Miftach menilai hanya riak-riak kecil menjelang muktamar.

"Itu hanya riak-riak di luar. Jati diri NU itu ya Ahwa. Itulah nahniah, kaminya yang muncul. Kalau voting itu yang muncul adalah 'aku' nya," tegas Kiai Miftach.

Dia juga menolak kalau pada muktamar nanti, muktamirin sengaja akan diarahkan ke Ahwa saat pleno pembahasan tata tertib (tatib). "Bukan diarahkan. Dalam agama, dalam aqidah itu sesuatu yang benar, itu wajib loh, bukan pilihan," tegasnya.

Kembali Kiai Miftach berdalih, kalau PWNU Jawa Timur mengambil sikap netral, tidak berpihak pada kelompok Ahwa maupun voting, seperti statemen Ketua PWNU Jawa Timur, KH Mutawakil Alallah, Rabu kemarin. "Itu dipelintir. PWNU Jawa Timur saya ambil alih. Saya sebagai rais syuriah, punya hak untuk ambil alih putusan PWNU Jawa Timur, dan itu belum putusan, masih pendapat," tegasnya.

Seperti diketahui, jelang Muktamar ke 33 NU di Jombang, terus terjadi pro-kontra terkait sistem pemilihan rais aam antara model Ahwa dan voting. Karena situasi terus memanas, bahkan hingga dua hari menjelang muktamar, Kiai Mutawakil menegaskan PWNU Jawa Timur mendukung sukses muktamar, bukan Ahwa maupun voting.

22 kiai yang hadir di pertemuan membahas Ahwa di Kantor PWNU Jawa Timur hari ini adalah, KH Maimoen Zubair dari Sarang, Rembang, Jawa Tengah, KH Anwar Manshur (Lirboyo, Kediri), KH Abdullah Kafabihi Machrus (Lirboyo, Kediri), KH Mas Mansur Thalhah (Surabaya), KH Zainuddin Djazuli (Ploso, Jombang), KH Idris Hamid (Pasuruan), KH Miftachul Ahyar (Surabaya) serta beberapa kiai lain dari Probolinggo, Pasuruan, Banyuwangi dan lain sebagainya.