Merdeka.com - Selama kurang lebih 3,5 abad menjajah Indonesia, Belanda telah meninggalkan banyak bangunan bersejarah di negeri ini, tak terkecuali Yogyakarta. Bangunan-bangunan tua peninggalan itu disebut loji oleh masyarakat sekitar.

Loji tertua di Yogyakarta adalah Benteng Vredeburg. Tempat yang kini disulap menjadi tempat wisata ini memang kerap didatangi oleh turis lokal maupun turis dari manca negara. Di dalam benteng itu para wisatawan disajikan ilustrasi-ilustrasi perjuangan rakyat Yogyakarta dalam masa melawan penjajah.

Loji-loji di Benteng Vredeburg beragam, Vredeburg sendiri yang didirikan pada tahun 1776 ini disebut sebagai loji besar. Jika ditelusuri lagi ke dalam maka wisatawan akan melihat loji lainnya seperti loji kebon yang menurut sejarah dipakai untuk petinggi Jepang bernama Koochi Zimmukyoku Tyookan.

Selanjutnya ada wilayah di mana gereja pada zaman masih bisa dinikmati keindahannya, misalkan gereja Protestansche Kerk dan gereja Fransiskus Xaverius. Daerah gereja tersebut dinamakan loji kecil.

Namun, di antara loji-loji di daerah Vredeburg, ada loji yang terkenal angker. Tahun berdirinya bangunan itu tidak ada yang pernah tahu bahkan penduduk asli kota Yogyakarta hingga sekarang masih belum bisa menjawab siapa pendiri dan kapan didirikan bangunan yang terkenal dengan nama 'Loji Setan'.

Gedung itu dinamakan demikian karena banyak orang yang mengatakan sering mendengar suara rintihan kesakitan dan suara jeritan minta tolong sangat jelas bisa didengar oleh orang-orang sekitar. Seolah-olah, tempat itu adalah bekas tempat penyiksaan para pejuang bangsa saat gagah berani memperjuangkan kemerdekaan untuk Indonesia.

Selain suara jerit tangis, gedung sebelah timur aula tengah sering terdengar suara-suara alunan musik khas belanda pada saat pesta dansa. Padahal di ruangan tersebut tidak ada alat musik atau bahkan sound system yang bisa memainkan musik tersebut.

Hingga sekarang kejadian-kejadian itu terus berulang dan tidak yang pernah mengetahui apa yang terjadi sebelumnya di Loji Setan tersebut. Menurut salah satu sumber, tempat itu merupakan tempat meditasi dan ruang pameran.

Pasca kemerdekaan, gedung itu digunakan sebagai kantor Komite Nasional Indonesia pada tahun 1945-1949, dan pernah menjadi kantor Dewan Pertahanan Negara dan penyelenggaraan sidang kabinet tahun 1948.