Bebaskan Satinah, BNP2TKI keberatan bayar uang diyat Rp 25 M
Merdeka.com - Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat mengaku keberatan jika pemerintah Indonesia harus membayar diyat (uang pengganti) sebesar 7 juta riyal atau sekitar Rp 25 miliar untuk membebaskan Satinah, Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Ungaran, Kabupaten Semarang, Jateng dari hukuman pancung. Pengadilan Arab Saudi menetapkan batas akhir pembayaran diyat pada 14 Desember 2012 mendatang.
Hingga kini, BNP2TKI bersama Kementerian Luar Negeri, KBRI, Kemenakertrans, Kemenko Polhukam dan Satgas TKI masih melakukan upaya lobi kepada pihak Kerajaan Arab Saudi untuk memperingan jumlah diyat yang dibebankan kepada Satinah.
"Pengacara kita di sana. KBRI, dubes kita sudah bekerja di sana. 14 Desember nanti akan duduk lagi dengan keluarga korban, kita akan minta lagi keringanan-keringanan. Dia (keluarga korban) minta Rp 25 miliar. Kita tidak mungkin sembarangan keluarkan uang. Karena duit rakyat. Kalau mungkin membayar, kita tidak mungkin membayar angka sebesar itu. Kita minta pengertian keluarga bagaimana tanggapan keluarga menerima uang tertentu itu. Bisa dimungkinkan kita bebas," papar Jumhur usai meresmikan Kampung TKI di Desa Trancap, Kecamatan Kaliwiro, Kabupaten Wonosobo, Jateng, Jumat (30/11).
Pada kesempatan itu, Jumhur juga ingin meluruskan terhadap pemberitaan yang menyatakan bahwa Satinah jika tidak membayar Rp 20 miliar akan dipancung pada 14 Desember itu tidak benar.
"Saya ingin luruskan Satinah itu dari Ungaran bukan tangal 14 Desember dieksekusi mati seperti itu. Tidak. 14 Desember adalah batas akhir kemampuan kita membayarkan diyat. Satinah sebetulnya sudah dihukum mati pada tahun 2009. Putusan sudah sampai di Mahkamah Agung tapi karena permintaan pemerintah, Presiden kita diulangi lagi pengadilannya. Kalau di sini sudah sampai MA tidak bisa. Di sana memungkinkan untuk itu," jelasnya.
Sayangnya, mesti proses peradilan telah diulang dari tingkat pertama, hukuman mati terhadap Satinah tidak berubah. Hanya vonisnya saja yang berubah. Jika dulu Satinah divonis melakukan pembunuhan berencana, dalam persidangan yang diulang, Satinah dijerat dengan pasal pembunuhan secara spontan dan tidak terencana.
"Dan dimulai lagi dengan pengadilan di awal ternyata pasal yang dikenakan bukan lagi pembunuhan berencana. Tetapi pembunuhan spontan yang disebut 'hard qishas," tandas Jumhur.
(mdk/bal)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
BTN Siapkan Uang Tunai Rp39 Triliun untuk Kebutuhan Lebaran 2024
Adanya peningkatan alokasi uang tersebut sejalan dengan proyeksi peningkatan transaksi masyarakat selama hari raya Idul Fitri 2024.
Baca SelengkapnyaBTN Dukung Program 3 Juta Rumah Prabowo-Gibran, Asalkan Begini Caranya
BTN berharap pemerintah dengan cepat mengambil keputusan terkait hal tersebut.
Baca Selengkapnya110 Juta Bidang Tanah Terdaftar Era Jokowi, Wamen Raja Juli Antoni: Kita Diberkahi Presiden Gesit
Masyarakat diminta menjaga sertifikat tersebut, sebab surat tersebut menjadi bukti kepemilikan tanah.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Sambut Nataru, Bank BTN Siapkan Uang Tunai Rp19,68 T hingga Diskon Pengajuan KPR
Bank BTN mencatat, aktivitas daya beli masyarakat saat ini tengah meningkat.
Baca SelengkapnyaSerahkan Bantuan Beras di Bantul, Jokowi: Setelah Juni Kalau APBN Cukup akan Dilanjutkan
Jokowi menjelaskan bahwa bantuan pangan berupa beras bisa dilanjutkan setelah bulan Juni jika anggaran negara mencukupi.
Baca SelengkapnyaDetik-Detik SPBU di Johar Baru Terbakar, Kerugian Ditaksir Capai Rp102 Juta
Satu orang terluka akibat kebakaran di SPBU Galur itu.
Baca SelengkapnyaDiperiksa KPK, Ahmad Muhdlor Ali: Semoga jadi Awal Kebaikkan Sidoarjo
Pemeriksaannya terjeda beberapa saat karena bertepatan salat Jumat.
Baca SelengkapnyaDitegur Pengurus karena Merokok Saat Puasa, Santri Bakar Pesantren di Sumedang
Aksi pelaku itu diduga disebabkan emosi dan tidak terima ditegur pengurus pesantren karena merokok saat jam puasa.
Baca SelengkapnyaSekjen PDIP Kritik Jokowi: Utang Swasta dan BUMN Hampir USD200 Miliar
Menurut Hasto, jika kedua utang itu digabung, Indonesia ke depan berpotensi menghadapi masalah serius.
Baca Selengkapnya