Bantah Saksi Imam Nahrawi, Saksi Ahli KPK Sebut Sprindik Sebelum UU Baru Tetap Sah
Merdeka.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan saksi ahli hukum tata negara dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, M Arif Setiawan dalam sidang praperadilan Imam Nahrawi. Sidang ini digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dalam sidang tersebut, Arif menjelaskan soal penerapan UU nomor 19 tahun 2019 tentang KPK yang baru. Menurutnya, Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) yang diterbitkan KPK sebelum berlakunya UU KPK tetap sah. Karena, UU KPK yang baru berlaku setelah 17 Oktober atau sebulan setelah disahkan DPR.
"Maka dengan berlakunya UU baru ini yang penyidikan belum selesai itu baru kemudian, tetapi ahli melihat itu ke depan, kalau dia sudah berjalan misal sprindik, sprindiknya sudah ada, kalau sprindiknya sudah dikeluarkan ya sudah masih berlaku," kata Arif, Jakarta Selatan, Kamis (7/11).
Pengembangan Perkara Gunakan UU KPK Baru
Menurutnya, apabila KPK ingin melakukan pengembangan perkara baru dengan menerbitkan sprindik baru. Maka harus menggunakan UU KPK baru yang memang sudah berlaku. Namun, jika perkara yang telah terbit Sprindiknya sebelum UU KPK berlaku saat ini tetap sah.
"Tetapi kalau misalnya ada pengembangan perkara baru penerbitan Sprindik baru, maka keluarnya Sprindik yang baru menggunakan UU KPK baru. Tapi yang sudah berjalan ini ini masih tetap sah, tidak perlu izin dewan pengawas," ungkapnya.
Arif menjelaskan, KPK harus menggunakan ketentuan yang ada di UU KPK baru, apabila KPK ingin menyita barang bukti baru. Karena, dalam ketentuan UU KPK baru harus meminta izin dewan pengawas jika melakukan upaya penyitaan.
"Ahli berpendapat bahwa terhadap suatu perkara yang penyidikannya belum selesai berlaku ketentuan yang baru. Apa contohnya misalnya ketentuannya ketika penyidik akan melakukan menyita, maka di situlah ada UU baru penyitaan yang dilakukan penyidik terlebih dahulu harus minta izin dewan pengawas. Kalau penyitaannya belum dilakukan," jelasnya.
"Tapi, kalau dilakukan sebelum UU itu berlaku sudah menyita tidak perlu kemudian minta izin," sambungnya.
Sebelumnya, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi meminta, agar status tersangka dalam kasus dugaan suap terkait dana hibah KONI terhadap dirinya dibatalkan.
Menurutnya, penetapan tersangka terhadap dirinya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sesuai dengan prosedur yang sudah ada.
(mdk/bal)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Unair Memanggil, Guru Besar dan Akademisi Minta Jokowi Hentikan Politik Kekeluargaan
Saat akan mengakhiri pemerintahannya, Presiden bisa mengambil sikap yang tidak menodai prinsip-prinsip utama.
Baca SelengkapnyaSemasa Kecil Tak Ingin jadi Pendeta, Kini Ignatius Suharyo Dipercaya jadi Uskup Agung Jakarta
Ia mengajak para jemaahnya menjadi 100% Katolik sekaligus 100% Indonesia.
Baca SelengkapnyaKPK Terima 5.079 Aduan Dugaan Korupsi Sepanjang 2023
Nawawi menyebut, dari 5.079 laporan yang diterima, ada sebanyak 690 laporan yang tidak dapat ditindaklanjuti.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
ICW Desak Jokowi Tunda Kepres Pemberhentian Firli Bahuri dari Ketua KPK
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana meminta Jokowi menundanya hingga Dewan Pengawas KPK menyelesaikan sidang dugaan tiga pelanggaran etik Firli Bahuri.
Baca SelengkapnyaSisi Lain Abraham Samad Mantan Ketua KPK, Suka Berantem untuk Bela Teman yang Tidak Salah
Ia bak pahlawan bagi teman-temannya yang jadi korban perundungan.
Baca SelengkapnyaVIDEO: Detik-Detik Akhir Hakim MK Tegas Potong Keterangan Saksi AMIN Singgung soal Gibran
Ketua MK Suhartoyo sempat memotong keterangan Patra yang dianggap sudah masuk dalam pendapat.
Baca SelengkapnyaRektor Perguruan Tinggi Katolik Seluruh Indonesia Resah karena Demokrasi Semakin Menyimpang
Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) Indonesia memberikan pernyataan sikap terkait dinamika politik di negeri ini menjelang Pemilu 2024.
Baca SelengkapnyaPengamat Nilai Firli Bahuri Harus Diberhentikan Secara Tidak Hormat
Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri dinilai perlu diberhentikan dengan tidak hormat oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Baca Selengkapnya