Teror di Paris dan jebakan rasa bersalah
Merdeka.com - Sangat menarik mencermati berbagai ekspresi di dunia maya terhadap peristiwa serangan teroris di Paris (13/11) lalu yang telah menelan korban tak berdosa paling tidak 129 orang. Gambar profil para pemilik akun Facebook misalnya segera diwarnai dengan fitur safety check berwarna merah, putih dan biru. Mereka berdoa untuk Paris.
Namun rupanya solidaritas virtual yang sempat viral itu sekarang ini mendapati suasana berubah. Respons sindiran yang mempertanyakan ketulusan empati itu juga mengemuka. Para pemegang akun Facebook mempertanyakan juga absennya solidaritas serupa untuk korban terorisme, misalnya di Beirut yang terjadi hanya sehari sebelumnya, di Somalia, Suriah, Turki dan terutama di Palestina.
Di tempat-tempat itu puluhan nyawa manusia melayang hampir setiap hari. Hal ini bahkan sempat memicu timbulnya tagar#PrayForTheWorld. Facebook pun sempat dituduh diskriminatif karena mereka hanya peduli pada golongan tertentu saja. Tudingan ini memaksa, Mark Zuckerberg, CEO Facebook, juga menjelaskan bahwa facebook yang tadinya hanya akan mengaktifkan fitur Safety Check untuk bencana alam, telah mengubah peraturan ini di mana fitur itu akan diaktifkan untuk berbagai bencana yang disebabkan oleh manusia. Sebuah pernyataan yang diragukan ketulusannya oleh netizen.
Fenomena ini menunjukkan beberapa hal. Pertama, netizen dan masyarakat dunia khususnya yang muslim, makin jelas melihat kemunafikan media Barat dalam kecepatan dan kegegapgempitaan mereka menempatkan berita serangan teror bila itu dilakukan oleh mereka yang digambarkan sebagai muslim dalam headlines mereka, namun sangat lambat bila serangan itu dilakukan oleh kelompok-kelompok etno-nasionalis atau ekstrimis kanan yang sejatinya lebih sering terjadi.
Sikap serupa yang juga mereka lihat pada para pemimpin politiknya. Lihat saja bagaimana pemimpin Partai oposisi ekstrem kanan National Front, Marine Le Pen, menuduh Islam sebagai agama terorisme dan menjadi sebab terjadinya serangan teror yang terjadi di Perancis itu. Melalui akun facebooknya, putri bungsu dari tokoh ekstrem kanan Perancis Jean-Marie Le Pen ini mengatakan: “Terrorisme islamiste: une colère froide nous serre le cœur.” atau Terorisme Islam, kemarahan telah memenuhi hati-hati kami.
Lebih tajam lagi lidah Geert Wilders politisi Belanda anti-imigran dan anti-Islam yang meminta Perdana Menteri Belanda untuk menutup semua pintu perbatasan sambil mengingatkan bahwa siapa menanam Al Qur’an akan menuai jihad. Mereka sangat pandai memanfaatkan situasi dari narasi anti Islam yang terbangun saat ini.
Yang kedua, netizen global melalui kajian mereka sendiri melihat ketidakadilan dalam narasi media Barat menyamakan terorisme dengan Islam sebagai agama. Tulisan pengimbang pun banyak disajikan. Misalnya jurnalis AS, Ben Norton (salon.com, 14/11), yang menyatakan bahwa kurang dari dua persen serangan teroris di Uni Eropa dari tahun 2009 sampai tahun 2013 dilatarbelakangi oleh agama. Di tahun 2013 hanya satu persen dari 152 serangan teror bermotif keagamaan dan setahun sebelumnya hanya tiga persen dari 219 serangan yang diinspirasi oleh agama.
Selain itu, menurut catatan resmi FBI, hanya enam persen dari serangan teroris di wilayah AS 1980-2005 dilakukan oleh ekstremis Islam. Sisanya 94 persen berasal dari kelompok lain (42 persen dari Latin, 24 persen dari kelompok sayap kiri ekstrem, 7 persen dari ekstrimis Yahudi, 5 persen dari komunis, dan 16 persen dari semua kelompok lain).
Ketiga, masyarakat Barat sendiri sudah melihat ketidakadilan itu dan mengekspresikannya. Munculnya penolakan terhadap politisi ultra kanan bisa dilihat dari tersebarnya tanda pagar #TerrorismHasNoReligion di Twitter. Ada yang menulis dalam tagar itu bahwa mayoritas yang dibunuh ISIS adalah umat muslim. Jangan pernah kaitkan miliaran umat Islam di dunia dengan teror ISIS.
Yang lain mengekspresikan dengan ungkapan kemasygulan "Tidak bisa dipercaya, ini sudah 2015 dan kita masih harus diingatkan bahwa terorisme tidak punya agama. Mereka pikir untuk apa para imigran itu kabur dari Suriah kalau bukan karena ISIS?“. Penulis fiksi thriller terkenal, StephenKing, mencuit pula bahwa ia menegaskan Muslim tidak bisa serta merta disalahkan atas teror Paris. Merekayang membenci Muslim atas peristiwa teror di Paris, seperti membenci Kristiani karena peristiwa kebencian terhadap gay oleh jemaat Gereja Westboro Baptist Church.
Yang keempat, yang paling penting, netizen muslim sedunia nampaknya sudah tahu dan tak mau masuk dalam jebakan rasa bersalah akibat pemojokan oleh media. Sejak serangan teroris 9/11 di AS, tuntutan kepada dunia muslim untuk ikut mengutuk terorisme dan menegaskan identitas sebagai Islam moderat lebih banyak diwarnai oleh dakwaan dan tudingan. Sekarang ini kutukan atas tindakan biadab teroris dan simpati mereka kepada para korban oleh dunia muslim lebih diwarnai oleh kebangkitan kesadaran bahwa kekejaman itu sama sekali tidak berkaitan dengan agama mereka dan tidak mewakili mereka.
(mdk/war)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pengguna mengeluhkan tidak bisa mengakses Instagram untuk beberapa waktu.
Baca SelengkapnyaTampilan pesan bertuliskan "Something went wrong" di laman utama disertai dengan tombol "Reload page".
Baca SelengkapnyaTahanan digunduli guna pemeriksaan identitas, badan atau kondisi fisik dan menjaga atau memelihara kesehatan serta mengidentifikasi penyakit.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Facebook menjadi jejaring sosial terbesar di dunia.
Baca SelengkapnyaFacebook, Instagram, dan Threads punya dampak besar bagi Mark Zuckerberg jika mengalami gangguan.
Baca SelengkapnyaAda juga orang yang putus asa dengan menuliskan di media sosialnya untuk mencurahkan isi hati.
Baca SelengkapnyaMelalui akun Instagram @komnasanak, kabar duka ini disampaikan Komnas PA kepada pubik.
Baca SelengkapnyaMencegah pencurian data pribadi dengan meningkatkan pengamanan mulai dari gadget sendiri.
Baca SelengkapnyaBerbagai fasilitas umum telah mengeluarkan imbauan untuk memakai masker.
Baca Selengkapnya