Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Sekularisasi politik di Indonesia berhasil

Sekularisasi politik di Indonesia berhasil Lutfi Assyaukani. ©2012 Merdeka.com

Merdeka.com - Hasil survei pilihan umum untuk 2014 untuk partai politik yang dilansir Saiful Mujani Research Center pekan lalu menempatkan partai nasionalis dalam posisi lima besar, seperti Partai Golongan Karya (14 persen) , Partai Demokrasi Indonesia (9 persen), Partai Demokrat (8 persen), Partai Nasional Demokrat (4 persen).

Hasil survei itu menyebutkan partai-partai Islam hanya bisa meraup suara di bawah lima persen. Posisi partai Islam dalam lansiran Lingkaran Survei Indonesia juga hampir sama, terus mengalami kemerosotan, malah kalah bersaing dengan partai baru, Partai Nasional Demokrat yang bisa mendapatkan suara lima persen.

Bagi Luthfi Assyaukanie, Doktor kajian Islam kontemporer, persentase suara yang diperoleh partai Islam itu bukanlah hal yang mengagetkan. Menurutnya, pandangan masyarakat kian terbuka, pilihan partai tidak mempengaruhi religiusitas pemilihnya. Berikut petikan wawancaranya dengan Islahuddin wartawan merdeka.com saat ditemui Kamis (18/10) sore di sekretariat Freedom Institute, Jalan Proklamasi Nomor 41 Menteng Jakarta Pusat.

Apa penyebab merosotnya popularitas partai Islam?

Itu bukan hal baru. Seingat saya, Lingkaran Survei Indonesia juga sudah melakukan beberapa kali survei popularitas partai sejak 1999 hingga 2000-an awal. Hasilnya selalu ditemukan kurang lebih sama, popularitas partai Islam mengalami penurunan dari hari ke hari. Rilis yang baru kemarin tidak ada yang baru.

Secara umum angka-angkanya partai Islam itu kalau digabungkan secara keseluruhan kurang dari 20 persen. Jadi kalau pegangan kita pemilu bukan survei, jumlahnya sekitar 15-20 persen. Memang ada kecenderungan partai-partai Islam itu menurun suaranya.

Apa kategori partai disebut partai Islam?

Yang dimaksud partai Islam, partai yang menyatakan programnya dan landasannya berazaskan Islam, bukan Pancasila. Dengan demikian yang disebut Partai Islam itu adalah PPP, PKS, PBB. Saat ini yang ada di parlemen ada dua, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang lain basisnya Pancasila, termasuk Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Tapi ada definisinya yang lebih luas, ada juga yang mengatakan basis massanya anggota organisasi besar Islam. Misalnya PKB, karena basis massanya Nahdlatul Ulama (NU), kemudian PAN, karena basis massanya Muhammadiyah. Tapi itu tidak ada jaminan, kalau itu definisinya, misalnya PAN, semakin lama kian ditinggalkan oleh Muhammadiyah, agak susah memegang basis massa dari organisasi besar Islam.

Jadi definisi yang paling tepat menurut saya, partai Islam adalah partai yang flat form di Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tanggah (AD/ART) adalah asasnya Islam, bukan Pancasila dan PKS dan PPP yang masih menggunakan itu.

Merosotnya popularitas partai Islam apa karena masyarakat muak dengan kelakuan politisi Islam?

Kalau penjelasan jauhnya ada proses yang cukup kompleks. Proses apa yang saya sebut sekularisasi politik di negara kita cukup berhasil. Sekularisasi politik itu artinya orang bisa secara personal bisa religius tapi secara politik dia sekuler. Misalnya saya tetap bisa melakukan haji, zakat, salat, tapi begitu datang ke kotak pemilihan saat pemilihan umum (Pemilu) saya tidak mau memilih partai Islam, karena saya tidak percaya partai Islam bisa bekerja dengan baik di pemerintahan. Itu yang saya sebut sebagai sekularisasi politik.

Nah, terjadinya sekularisasi politik ini yang cukup intens dalam beberapa puluh tahun terakhir. Itu terjadi sejak Orde Baru dan kita petik hasilnya sekarang. Orang-orang muslim percaya, aspirasi politik mereka tidak perlu disalurkan ke partai-partai Islam. Tidak serta mereka kurang religius kalau mereka memilih Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan partai yang lainnya.

Apa memang selama ini partai Islam ini tidak mengakomodasi pemilihnya?

Itu persoalan lain. Partai-partai yang berideologi eksklusif, bagaimana pun partai Islam itu ideologinya eksklusif. Pertama mereka memainkan sentimen keagamaan, itu saja sudah mempersempit cakupan suara.

Kedua politik itu dalam skemanya posisinya selalu berada di kiri dan di kanan jauh. Yang di tengah itu biasanya yang cair, misalnya partai yang mengusung ideologi yang sangat liberal itu dia akan berada jauh di kiri dengan partai yang mengusung ideologi Islam akan berada jauh di kanan. Yang di tengah-tengah itu selalu ceruk suara yang besar.

Partai Islam kalau mau mendapatkan suara yang besar dia harus ke tengah, jangan ke pinggir. Nah, partai-partai Islam sekarang ada di pinggir yang suaranya kurang dari 20 persen. 80 persen suara itu berada di tengah, itu yang diperebutkan PDIP, Golkar, Demokrat, dan partai-partai nasionalis yang lain. Partai Islam kalau mereka mau mendapat dukungan banyak harus ke tengah.

Apa maksud anda istilah pinggir kiri, kanan, dan tengah?

Begini spektrum partai politik, yang di kiri dan kanan itu kecil, jumlahnya kurang dari 20 persen. Partai yang berideologi sosialis, komunis, atau nasionalis, ada di pinggir kiri. Sedangkan partai Islam berada di pinggir kiri. Di tengah itu yang banyak, suaranya sekitar 80 persen. PKS itu masih di pinggir karena masih menjual isu Islam. Karena masih menjual isu Islam, orang-orang di pinggir ini yang masih percaya dengan jualan Islam akan memilih PPP. Kalau PPP mencoba ke tengah, padahal di tengah ini banyak sekali pemainnya. Dia harus bersaing dengan PDIP, Golkar, Demokrat, nasional Demokrat, belum lagi dengan PAN, PKB, dan yang lainnya.

Tantangannya buat PPP kalau tidak meyakinkan, kalau mereka sudah berubah visi saat kampanye, bisa saja yang tengah tidak akan memilih dia yang pinggir sebagai pemilih tetapnya akan kabur meninggalkannya. Dilemanya seperti itu. Tokoh-tokoh seperti Lukman Saifudin itu menurut saya menyadari hal itu. “Daripada kita kehilangan suara yang 5 persen atau kurang, lebih baik menjaga itu, karena belum pasti mendapatkan suara yang lebih besar”.

Seperti apa contoh konkretnya?

Nama boleh partai Islam tapi mereka harus menunjukkan pada masyarakat, mereka mengusung politik yang moderat. PKS sebetulnya awalnya berusaha menjadi partai yang relatif moderat. Ini kalau melihat Pemilu 1999, jualan politiknya sangat agamais. Kampanyenya tentang syariat Islam, tentang perubahan atau amandemen konstitusi dan seterusnya. Saat itu mereka mendapat suara 2 persen atau kalau tidak salah ingat kurang dari 2 persen, saat itu namanya Partai Keadilan.

Tapi pada pemilu 2004, mereka tidak hanya mengubah nama tapi juga strategi. Saya masih ingat, kampanye-kampanye PKS tahun 2004 itu membuang seluruh kampanye agenda-agenda Islam. Jadi yang mereka kampanyekan, misalnya pemerintahan yang bersih, reformasi birokrasi, anti korupsi, hal-hal yang sangat umum, sangat duniawi, sangat profan, tidak ada kaitannya dengan agama. Maka saat itu suaranya naik, PKS suaranya saat itu dapat tujuh persen.

Kemudian 2009 suaranya stagnan, itu adalah ujian dari kampanyenya pada 2004. Ada masalah kasus korupsi, masalah moral, dan lain-lainnya. Nanti kita lihat, kalau survei terakhir suara PKS turun karena kasus-kasus korupsi yang menimpa kader-kadernya. Itu disorot media dan dilihat orang setiap hari. Mulanya PKS lulus sebagai partai moderat awalnya, tapi tidak lulus ketika janji-janji kampanyenya dilanggar. Itu yang menjelaskan kenapa PKS tidak naik kelas atau mendapatkan suara lebih dari yang didapat sebelumnya.

Bagaimana dengan Partai Persatuan Pembangunan?

PPP sebetulnya lebih solid dari PKS. Solid dalam artian, PPP punya massa yang lebih terikat. Sementara PKS itu massa yang cair. Massa PKS itu massa terdidik, massa yang kritis, sementara massa PPP itu kurang terdidik, secara tradisi saja. Tradisi dalam arti kalau orang tuanya PPP anaknya juga akan mengikuti, seperti dari sebagian masyarakat Betawi, kemudian dari Jawa Timur, itu yang masuk partai agama secara tradisi. Kalau PKS itu suaranya sangat mengambang, dia bisa bertambah dan bisa berkurang.

Biodata

Luthfi Assyaukanie

Pendidikan:

Ph.D: Universitas Melbourne , Australia (2006)

MA: Universitas Melbourne , Australia (2003)

MA: Universitas Islam Internasional, Malaysia, (1995)

BA: the Universitas Yordania, Yordania (1993)

Pekerjaan

Deputi Direktur Eksekutif Freedom Institute (Sekarang)

Dosen Jurusan Filsafat dan Agama Universitas Paramadina, Jakarta (2000-sekarang)

Penghargaan

Nominasi Australian Alumni Award (2008)

Penghargaan Tesis terbaik dari Rektor Universitas Melbourne, Australia (2008)

(mdk/tts)
ATAU
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
4 Partai Pemenang Pemilu 1955, Berikut Sejarah dan Hasil Suaranya

4 Partai Pemenang Pemilu 1955, Berikut Sejarah dan Hasil Suaranya

Pemilu 1955 memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia karena hasil pemilu tersebut menjadi dasar pembentukan negara Kesatuan Republik Indonesia.

Baca Selengkapnya
Contoh Koalisi Partai Politik Sebagai Penentu Pembentukan Pemerintahan Kuat, Kenali Bedanya dengan Oposisi

Contoh Koalisi Partai Politik Sebagai Penentu Pembentukan Pemerintahan Kuat, Kenali Bedanya dengan Oposisi

Berikut contoh koalisi Partai Politik dan kenali perbedaan dengan oposisi.

Baca Selengkapnya
Demokrat Hampir 10 Tahun jadi Oposisi, Kritik AHY: Pembangunan di Indonesia Belum Merata

Demokrat Hampir 10 Tahun jadi Oposisi, Kritik AHY: Pembangunan di Indonesia Belum Merata

AHY menegaskan ingin fokus memenangkan Partai Demokrat dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
4 Partai Pemenang Pemilu 1955, Lengkap dengan Sejarah dan Kiprahnya

4 Partai Pemenang Pemilu 1955, Lengkap dengan Sejarah dan Kiprahnya

Merdeka.com merangkum informasi tentang 4 partai pemenang pemilu 1955, sejarah, kiprahnya di dalam dunia perpolitikan.

Baca Selengkapnya
AHY Tak Percaya Hasil Survei Tempatkan Demokrat Hanya Dapat 4 Persen

AHY Tak Percaya Hasil Survei Tempatkan Demokrat Hanya Dapat 4 Persen

Demokrat memiliki survei internal, dan AHY yakin perolehan suara akan lebih dari survei eksternal.

Baca Selengkapnya
PSI Terancam Tak Masuk ke Senayan Meski Dipimpin Kaesang, Ini Respons Presiden Jokowi

PSI Terancam Tak Masuk ke Senayan Meski Dipimpin Kaesang, Ini Respons Presiden Jokowi

Adapun syarat suara partai politik untuk lolos ke DPR harus mencapai 4 persen.

Baca Selengkapnya
Ini Daftar Caleg Dapil Banten Lolos Senayan, Ada Nama Dasco hingga Airin

Ini Daftar Caleg Dapil Banten Lolos Senayan, Ada Nama Dasco hingga Airin

Pengumuman hasil rekapitulasi nasional perolehan suara Pilpres dan Pileg 2024, berdasarkan berita acara KPU nomor 218/PL.01.08-BA/05/2024.

Baca Selengkapnya
Survei LSI: Ternyata Prabowo Didukung 34,8% Suara PDIP, 53,5% Suara NasDem, 47% Suara PKB

Survei LSI: Ternyata Prabowo Didukung 34,8% Suara PDIP, 53,5% Suara NasDem, 47% Suara PKB

Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan menyampaikan, suara para pemilih sesuai basis partai politik nyatanya terpecah.

Baca Selengkapnya
Intervensi adalah Istilah dalam Politik, Begini Penjelasan Lengkapnya

Intervensi adalah Istilah dalam Politik, Begini Penjelasan Lengkapnya

Intervensi ini bisa dikatakan sebagai campur tangan negara diktator dalam urusan negara lain.

Baca Selengkapnya