Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Mengurai Penyebab Gen Z Lebih Rentan Depresi

Mengurai Penyebab Gen Z Lebih Rentan Depresi corat-coret seragam sma. ©2013merdeka.com/m. luthfi rahman

Merdeka.com - Sebuah penelitian dirilis Into The Light, komunitas pencegahan bunuh diri remaja di Indonesia yang bekerja sama dengan Change.org Indonesia pada Agustus 2021 lalu. Mayoritas responden survei menjawab, mengaku merasa kesepian dalam sebulan terakhir.

Situasi saat survei berlangsung adalah pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung setahun. Selama kurang lebih sebulan melakukan survei online, ada 5.211 orang yang mengikuti. Sebagian besar berdomisili di 6 provinsi di Pulau Jawa.

Banyak yang bertanya, apakah rasa kesepian selalu mengarah ke pemikiran ingin melukai diri sendiri atau bahkan bunuh diri. Namun, ternyata tidak ada partisipan yang menjawab dengan benar mengenai mitos dan fakta bunuh diri. Artinya, pengetahuan partisipan tentang fakta dan penyebab bunuh diri masih sangat minim.

Dikutip dari change.org, soal layanan kesehatan mental, mayoritas partisipan lebih memilih orang terdekat, seperti anggota keluarga atau teman dekat ketika memiliki masalah kesehatan mental.

Berdasarkan hasil survei, perasaan kesepian ini ditemukan merata di seluruh anggota kelompok umur, area domisili, suku, riwayat pendidikan, pekerjaan, agama, jenis kelamin, ketertarikan seksual, status HIV dan disabilitas. Tidak ada partisipan yang menjawab dengan benar seluruh pertanyaan tentang fakta bunuh diri. Artinya, pengetahuan partisipan tentang fakta dan penyebab bunuh diri masih minim.

Lebih dari setengah partisipan tidak pernah mengakses layanan kesehatan mental. Di saat memiliki pemikiran bunuh diri atau masalah kesehatan mental, mereka lebih memilih melakukan hal berikut: Membaca kitab suci dan berdoa, kemudian berbicara dengan keluarga.

Seluruh responden bahkan meyakini, anggota keluarga dan teman dekat berjenis kelamin sama lebih membantu dibanding tenaga kesehatan jiwa profesional. Padahal, tenaga kesehatan profesional lebih memiliki keahlian dan akan menjaga rahasia pasien.

Membedakan Dunia Maya dan Realita

Generasi Z, adalah generasi pertama yang sepenuhnya dibesarkan oleh kecanggihan digital, gawai, dan internet, serta tumbuh dengan pengalaman dunia yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya.

Gen Z terhubung secara global dengan beragam orang dan sebagian besar berkomunikasi melalui teknologi dan media sosial. Mereka tumbuh di masa-masa penuh gejolak yang mencakup berbagai pemicu stres.

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Rissalwan Habdy Lubis melihat, dampak dunia digital telah membuat Gen Z tidak bisa membedakan mana dunia realita dan mana dunia maya. Mengutip sosiolog Robert K Merton, Rissalwan menjelaskan fenomena yang dialami anak-anak muda saat ini sebagai anomi. Ketidaksesuaian antara akses dan tujuan yang akan menimbulkan penyimpangan sosial. Anomi terjadi karena kegagalan lembaga sosial dalam menjalankan fungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

"Di satu sisi kan harapannya orang tua mengarahkan dia berbuat seperti apa, membantu mengingatkan tetapi di sisi lain orang tuanya harus sibuk bekerja," ujarnya kepada merdeka.com, 3 Oktober lalu.

Rissalwan melanjutkan, banyak anak-anak dari kalangan Gen Z yang kehilangan figur untuk bisa diajak berkomunikasi. Sementara di dunia digital, pertemanan di media sosial sudah tidak punya batasan. "Orang bisa mencemooh, mengejek dengan sangat bebas sehingga tingkat stres anak-anak ini menjadi lebih tinggi," jelasnya.

Demikian juga faktor pola asuh. Rissalwan menyebut, orang tua yang sibuk harus memberikan ruang untuk mendengar dan berkomunikasi dan mendengar anaknya. Banyak anak-anak yang mengalami bullying di media sosial tapi tidak tahu harus mengadu kepada siapa.

"Dia tidak punya teman bercerita, dia enggak tahu mau bagaimana dia bercerita. Di medsos malah dia dicemooh, dihujat," ujarnya.

Peran sekolah juga penting bahwa dunia digital punya aspek berbahaya yang harus dikelola. Sekolah seharusnya bisa memberikan panduan yang bisa dimasukkan ke dalam kurikulum, bagaimana caranya hidup survive di dunia digital.

Literasi digital, kata Rissalwan, tidak hanya menjadi jargon semata tanpa diimbangi konten-konten yang berhubungan dengan kehidupan anak-anak. Dalam pengamatannya, kampanye literasi digital yang terjadi saat ini baru bagaimana mengakses dunia digital tanpa memberikan pemahaman mana konten yang berbahaya dan mana konten yang bermanfaat.

"Bagaimana membuat yang tidak bermanfaat menjadi bermanfaat, itu saya kira masih kurang dari pemerintah," tukasnya.

Dunia digital juga telah membuat anak-anak cenderung menjadi individu yang lebih senang dengan dirinya sendiri dan dunianya. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang menonton TV, Gen Z yang sedari kecil sudah terbiasa dengan YouTube dapat menghentikan konten yang dia tidak suka dan memilih konten yang lain.

"Semua ada di tangan dia, jadi seolah-olah i am the king of the world, the queen of the world. Artinya apa ini sudah penyakit jiwa. Ini sudah gangguan jiwa. Jadi banyak yang tidak kita sadari, anak-anak kecil itu sudah disodori dengan YouTube, dia milih sendiri. Saya kira ini berbahaya," jelasnya.

Kecelakaan Sosial

Manusia digital adalah manusia-manusia dengan tingkat stres sangat tinggi. Pengamat sosial dari UI Devie Rahmawati mengutip pernyataan itu berdasarkan sebuah tulisan yang dirilis Universitas Kanada.

Gen Z sebagai generasi digital, mendapat pola asuh yang jauh berbeda dari generasi sebelumnya. Orang-orang tua modern cenderung tidak lagi mengendalikan kehidupan keluarga mereka. Devie mengilustrasikan, jika kehidupan diibaratkan dengan mengendarai kendaraan, banyak orang tua langsung memberikan 'setir' kepada anak yang bahkan belum bisa berkendara.

"Jadi bayangkan kalau di masa lalu, kan anak itu duduk di kursi belakang kendaraan, orang tua kemudian mengendarai kendaraan menggunakan setir mengendalikan gas dan rem. Kalau di era sekarang, orang tua cenderung bahkan memberikan setir rem dan gas itu kepada sang anak," ujarnya.

Akibatnya, kata Devie, banyak anak-anak yang akhirnya mengalami 'kecelakaan sosial', tabrakan mental dan benturan budaya digital yang berpengaruh pada mental, perilaku, dan cara pandang mereka.

"Bayangkan, para peneliti telah jelas merekomendasikan misalnya anak 0 sampai 2 tahun itu sama sekali tidak diperboleh diperkenalkan dengan gawai. Tapi apa yang terjadi di negeri ini, bahkan sebelum jauh anak lahir saja sudah memiliki akun-akun media sosial misalnya dan ketika dia lahir cara terbaik untuk merawat anak dalam tanda kutip dilakukan dengan memberikan gawai sedini mungkin," papar Devie.

Sementara Psikolog Anak Endang Widyorini menyoroti kondisi pandemi telah menjadi faktor pencetus terjadinya percepatan dampak digital. Kemajuan digital menjadi sumber utama perilaku manusia.

"Screen time semakin panjang, maka dampaknya ke mental health anak dan remaja," ujarnya kepada merdeka.com.

Waktu mengakses gawai atau screen time membuat anak-anak mengakses berbagai konten secara berlebihan tanpa kendali. Efeknya, fungsi keluarga menjadi berbeda, bahkan tidak sedikit menjadi kurang berfungsi baik. Hubungan suami-istri, orang tua dan anak memiliki komunikasi yang kurang efektif.

"Tingkatkan komunikasi dan bermain dengan anak. Usahakan beri aktivitas out door," pungkas Endang.

(mdk/bal)
ATAU
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Survei: Gen Z Makin Bahagia saat Menemukan Tujuan Bekerja
Survei: Gen Z Makin Bahagia saat Menemukan Tujuan Bekerja

Salah satu temuan paling signifikan dari survei ini adalah bahwa hal yang paling memengaruhi kebahagiaan Generasi Z adalah tujuan hidup mereka di tempat kerja.

Baca Selengkapnya
Upaya Meningkatkan Kesadaran Gen Z Pentingnya Kesehatan dan Perlindungan Diri
Upaya Meningkatkan Kesadaran Gen Z Pentingnya Kesehatan dan Perlindungan Diri

Survei Indonesia Millennial and Gen Z Report 2024 mencatat bahwa 82 persen milenial dan 81 persen gen Z rutin berolahraga.

Baca Selengkapnya
Erick Thohir Ajak Gen-Z Sumatera Utara Melek Literasi Digital dan Peduli Mental Health
Erick Thohir Ajak Gen-Z Sumatera Utara Melek Literasi Digital dan Peduli Mental Health

Milenial dan Gen Z menduduki peringkat kedua sebagai kelompok pengguna internet terbesar di Indonesia.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Ini yang Dilakukan Gen Z Optimalkan Penggunaan AI
Ini yang Dilakukan Gen Z Optimalkan Penggunaan AI

Ternyata hal-hal ini sering digunakan gen Z untuk otak=atik AI.

Baca Selengkapnya
Nabung Kok Ribet? Ini Trik Investasi yang Gampang dan Menguntungkan buat Gen Z
Nabung Kok Ribet? Ini Trik Investasi yang Gampang dan Menguntungkan buat Gen Z

Generasi Z memiliki banyak akses ke beberapa sumber atau platform, seperti berinvestasi, yang memudahkan gen Z untuk merencanakan keuangan.

Baca Selengkapnya
Gen Z Merapat, Intip Inovasi On Device AI yang Jadi Game Changer dalam Hidupmu!
Gen Z Merapat, Intip Inovasi On Device AI yang Jadi Game Changer dalam Hidupmu!

AI on device siap mentransformasikan keseharianmu agar makin produktif!

Baca Selengkapnya
Dialog Bareng Gen Z dan Milenial, Ganjar Ajak Optimalkan Dunia Digital Lewat Program Internet Gratis-Merata
Dialog Bareng Gen Z dan Milenial, Ganjar Ajak Optimalkan Dunia Digital Lewat Program Internet Gratis-Merata

Ganjar mengenalkan program GratisIn yakni internet super cepat, gratis, dan merata di seluruh Indonesia.

Baca Selengkapnya
Studi Baru: Gen Z dan Milenial Lebih Kaya dari Baby Boomers, Ini Sumber Terbesarnya
Studi Baru: Gen Z dan Milenial Lebih Kaya dari Baby Boomers, Ini Sumber Terbesarnya

Studi tersebut mengatakan generasi muda menerima cek stimulus yang lebih besar selama pandemi

Baca Selengkapnya
Kenali 4 Gejala Awal Depresi yang Mungkin Saja Menimpamu, Jangan Diabaikan!
Kenali 4 Gejala Awal Depresi yang Mungkin Saja Menimpamu, Jangan Diabaikan!

Beberapa gejala awal depresi yang mungkin saja dialami, tapi nggak disadari. Apa saja?

Baca Selengkapnya