Jaksa Agung hanya jadi bintang televisi
Merdeka.com - Lupakan sejenak Bareskim Polri dengan urusan kriminalisasinya. Penyidikan terhadap kasus Bambang Widjajanto, Abraham Samad, Deny Indrayana, dan lain-lain, sepertinya sudah berhenti. Entah karena dimarahi Presiden Jokowi, atau karena sudah berhasil menekuk pimpinan KPK. Mari alihkan perhatian ke Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Sengaja nama 'Republik Indonesia' saya sertakan, sekadar mengingatkan, bahwa kejaksaan agung adalah lembaga penegak hukum nasional, selain Polri, Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri. Untuk urusan pemberantasan korupsi, Polri dan kejaksaan agung sesungguhnya adalah pelaku utama.
Namun selama Orde Baru dan awal reformasi, kedua lembaga itu tumpul tak bertaji; sedangkan korupsi sudah menjadi musuh bersama bangsa; maka dibentuklah KPK pada zaman Presiden Megawati Soekarnoputri. Apakah itu berarti kejaksaan agung boleh berleha-leha mengabaikan kasus-kasus korupsi? Tentu saja tidak. Menegakkan hukum dan memberantas korupsi masih menjadi kewajiban utamanya.
Bolehlah Polri berkilah, masih banyak urusan hukum dan ketertiban yang diembannya, sehingga urusan korupsi terabaikan. Tapi kejaksaan agung tidak punya kilah itu. Makanya, ketika Jaksa Agung Muhammad Prasetyo berjanji hendak memberantas korupsi, ya tidak ada yang istimewa. Karena itu memang sudah menjadi kewajibannya.
Ketika janji itu direalisasi dalam waktu cepat, antara lain dengan menjebloskan mantan Bupati Indramayu Yance ke penjara, langkah kejaksaan sempat menarik perhatian. Apalagi kemudian Jaksa Agung Presetyo memanggil dan mengumpulkan jaksa-jaksa terbaik bergabung dalam Satgas Anti Korupsi, dengan misi utama mempercepat penanganan kasus-kasus korupsi yang jumlah berjibun di kantor kejaksaan.
Namun, apa yang terjadi, setelah enam bulan Prasetyo menjabat jaksa agung dan setelah Satgas Anti Korupsi dibentuk? Tidak ada perkembangan apa-apa, selain Yance dimasukkan penjara tadi. Tak jelas apa yang akan dikerjakan Satgas, juga apa prioritasnya. Mari lihat kasus di depan mata yang mestinya segera diselesaikan.
Pada saat pelantikan anggota DPR, Rabu 1 Oktober 2014 lalu, terdapat lima calon anggota DPR terpilih yang tidak dilantik. Mereka adalah Jero Wacik (Partai Demokrat), Idham Samawi (PDIP), Herdian Koesnadi (PDIP), Jimmy Demianus (PDIP), dan Iqbal Wibisono (Partai Golkar). Jero Wacik ditersangkakan oleh KPK. Herdian Koesnadi dijerat oleh Kejaksaan Agung. Sedang tiga yang lain ditersangkakan oleh kejaksaan di daerahnya masing-masing.
Berbeda dengan para tersangka KPK yang otomatis akan jadi terdakwa, para tersangka kejaksaan agung bisa saja dibebaskan atau di-SP3-kan. Mestinya kejaksaan agung bergerak cepat menangani tiga kasus tersebut agar mendapat kepastian: tetap dilantik menjadi anggota DPR, atau diganti oleh calon anggota DPR lain. Namun sampai enam bulan berlalu, tidak ada kemajuan berarti terhadap penanganan kasus tersebut.
Padahal, pemilu kemarin menghabiskan banyak biaya negara dan biaya kampanye yang ditanggung partai dan calon. Padahal, rakyat di daerah pemilihan masing-masing butuh kepastian memiliki wakil di DPR agar mereka bisa menyalurkan aspirasi politiknya dengan baik. Padahal juga, selama masa sidang, sudah banyak keputusan diambil dan akan banyak lagi yang diambil, sementara enam wakil rakyat tidak ada.
Sudah semestinya jaksa agung mengambil langkah cepat dan membuat putusan tegas: tiga tersangka itu jadi terdakwa sehingga harus dicari penggantinya untuk menjadi anggota DPR, atau memberhentikan kasusnya (SP3), sehingga mereka segera dilantik.
Namun yang tersebar, justru kabar sebaliknya: aparat kejaksaan, baik di daerah maupun di Jakarta, sengaja memain-mainkan para tersangka. Mereka dijadikan mesin ATM. Ini sesungguhnya permainan khas para jaksa dalam menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat: tetapkan jadi tersangka, ambangkan kasusnya, peras korbannya.
Model kerja kejaksaan seperti inilah yang menyebabkan para elit politik berlomba mendudukkan orangnya sebagai jaksa agung. Sebagaimana diketahui, menjelang penunjukkan jaksa agung, Presiden Joko Widodo banyak menerima nama titipan dari elit partai politik. Janji Jokowi untuk menunjuk pejabat yang bersih, berintegritas, dan profesional, hanya abab belaka.
Saat itu para jaksa di lingkungan kejaksaan sesungguhnya lebih suka jaksa agung berasal dari lingkungan dalam. Mereka menggadang-gadang Ketua PPATK Muhammad Yusuf, yang mantan jaksa tinggi, untuk bisa menjadi jaksa agung.
Namun jika pun orang luar, mereka juga bisa terima asal orang itu memahami kerja kejaksaan. Di sini misalnya, nama Bambang Widjajanto tersebut, karena orang ini pernah menjadi tenaga ahli kejaksaan agung pada saat Jaksa Agung Abdulrahman Saleh. Bagaimana pun juga banyak jaksa yang ingin agar reputasi lembaganya menjadi baik dengan tampilnya jaksa agung yang bersih berintegritas dan kompeten.
Tapi, apa boleh buat. Pada momen terakhir yang tak disangka oleh para jaksa adalah tampilnya kembali nama Muhammad Prasetyo sebagai calon kuat. Namanya didesakkan oleh Ketua Partai Nasdem Surya Paloh. Karena Prasetyo setelah pensiun jaksa berpolitik di bawah bendera Nasdem. Nah, seperti bosnya, dia banyak ngomong dan sering masuk satu stasiun televisi. Kerja memberantas korupsi hanya sebatas bikin satgas.
(mdk/ian)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Kejagung telah menetapkan belasan orang sebagai tersangka dalam perkara ini
Baca SelengkapnyaBurhanuddin menegaskan, menjadi seorang jaksa pun tidak boleh sembarangan dalam berpenampilan.
Baca SelengkapnyaPelaku merusak layar monitor serta mencoba membobol brankas
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
2 Perusahaan BUMN tersebut sedang menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung.
Baca SelengkapnyaUntuk pertama kalinya, mantan suami Dewi Perssik itu akhirnya kembali dipercaya untuk tampil dalam sebuah acara televisi.
Baca SelengkapnyaPelaku yang sebelumnya gagah dan lantang mengaku adik jenderal TNI ketika bersenggolan dengan pengendara mobil di Tol Jakarta-Cikampek kini hanya tertunduk lesu
Baca SelengkapnyaPerkara bau amis pada daging ayam sering menjadi masalah saat ingin mengolahnya. Namun, ternyata solusinya terletak pada teknik mencuci dagingnya loh!
Baca SelengkapnyaSempat kerja di Bandara Soekarno-Hatta selama dua tahun, Opi memutuskan buat banting setir berjualan bakso ikan dengan gerobak.
Baca SelengkapnyaKetika sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba sang pembawa acara 'FYP' menyebutkan adanya rakyat kecil yang ingin menagih janji dari Komeng.
Baca Selengkapnya