Merdeka.com - Tujuh tahun Bagus Satrio Hutomo menjadi pemakai narkoba jenis putau. Berawal dari coba-coba, Bagus pada 2005 masih kuliah semester akhir di kampus Bina Sarana Informatika (BSI) Salemba, terbujuk oleh kawan-kawannya memakai putau. ”Kelihatannya enak. Saya coba-coba ikut teman,” kata dia ditemui merdeka.com kemarin di pusat rehabilitasi Mental Health Care Madani, Jalan Pancawarga, Cipinang Besar Selatan, Jatinegara, Jakarta Timur,

Setelah beberapa kali, Bagus ketagihan. Seperti salat wajib, sehari lima kali dia mengisap obat haram itu. Sekali isap biayanya Rp 50 ribu, artinya saban hari dia harus menyediakan Rp 250 ribu. Putau dia beli dari seorang bandar di kawasan Tanah Abang. Lima tahun Bagus menjadi konsumen tetap bandar itu. Dia tak sendiri, masih banyak anak-anak muda seusianya menjadi konsumen putau. Obat haram itu mudah didapat melalui jaringan pertemanan di kampus.

Bungsu dari empat bersaudara ini mengisahkan, suatu saat dia pernah sakau. Badannya kesakitan; panas dingin, hidung meler, kepala pusing, campur aduk menjadi satu. Bila sudah seperti itu, dia melanjutkan, pemakai akan menggunakan segala cara mencari uang buat membeli putau. ”Sakitnya nggak kebayang. Saya pernah mencuri emas orang tua, menggadaikan motor, mencuri, semua pernah saya lakukan,” kata dia mengenang.

Tiga kali dia ketahuan orang tuanya. Tiga kali pula dia direhabilitasi, tapi kambuh lagi. Orang tua Bagus, hanya pensiunan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), tentu kerepotan. Bagus akhirnya dititipkan ke Mental Health Care Madani pada Desember tahun lalu. Bagus akhirnya sadar juga. Dia lulus rehabilitasi. Kini dia sudah nyaris sembuh total. Di usia menginjak 29 tahun, dia menyesal bila mengenang masa lalunya itu.

Namun, teman-temannya sampai sekarang terus merayu-rayu buat kembali memakai putau. Setelah pulang dari pusat rehabilitasi, dia memutuskan berdiam diri di dalam rumah. Dia tidak lagi membaur dengan kawan-kawan lamanya. ”Saya memilih menghindar. Kalau tidak begitu, saya dirayu-rayu terus. Apalagi orang tua juga sudah melarang,” ujarnya.

Bila teringat pengalamannya menjadi pecandu narkoba, dada Bagus panas. Dia mengaku dendam, ingin melapor teman-teman pecandu ke polisi. Tapi gara-gara para pengedar itulah dia terjerembab ke dunia hitam para pemakai putau. Ketika sakau, dia sering mendapat jatah putau murah hingga gratis dari para pengedar. ”Saya sakit hati, pengen saya laporkan ke polisi, tapi nggak enak,” katanyanya.

Lalu bagaimana dengan keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi grasi lima tahun kepada pengedar ganja asal Australia, Schapelle Leigh Corby? Bagus dengan tegas mengaku kecewa. Menurut dia orang-orang seperti Corby sebaiknya dihukum mati, bukan malah dikurangi masa hukumanya. ”Saya jelas kecewa, masak dikurangi masa hukumannya. Seharusnya dihukum mati,” ucapnya.