Mengenal Darurat Sipil, Rencana Kebijakan Baru Jokowi Hadapi COVID-19
Merdeka.com - Darurat sipil menjadi perbincangan hangat. Berawal dari pernyataan Presiden RI Joko Widodo terkait pembatasan sosial berskala besar pada pengantar Rapat Terbatas (ratas) Laporan Tim Gugus Tugas Virus Korona (COVID-19), Senin (30/3) di Istana Bogor.
Jokowi mengungkapkan akan menerapkan pembatasan sosial berskala besar dengan kekarantinaan kesehatan. Apabila keadaan sangat memburuk, maka dapat menuju darurat sipil.
Jokowi juga meminta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, atau yang dikenal dengan physical distancing, dilakukan lebih tegas, lebih disiplin, lebih efektif dan perlu didampingi kebijakan darurat sipil. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan darurat sipil?
Mengenal Darurat Sipil
Darurat sipil adalah serangkaian peraturan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perpu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Pencabutan UU Nomor 74 Tahun 1957 dan Menetapkan Keadaan Bahaya.Aturan ini menerapkan tiga tingkatan keadaan bahaya dari yang terendah hingga tertinggi. Yakni, keadaan darurat sipil, keadaan darurat militer, dan keadaan perang.
Pasal 1 Perppu itu menyebutkan tiga syarat Presiden menetapkan Indonesia dalam keadaan bahaya untuk sebagian atau seluruh wilayahnya.
- Keamanan atau ketertiban hukum di seluruh atau sebagian wilayah terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa;
- Timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga.
- Hidup negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala-gejala yang dapat membahayakan hidup negara.
Dalam kondisi bahaya, Presiden akan memegang kekuasaan tertinggi di Pusat. Ia juga memiliki wewenang mencabut keadaan bahaya ini. Sementara, di tingkat daerah penguasaan darurat sipil dilakukan oleh kepala daerah.
Penguasa darurat sipil daerah wajib menuruti petunjuk dan perintah yang diberikan oleh penguasa darurat sipil pusat (pasal 7 ayat (1)). Penguasa pusat pun bisa mencabut sebagian kekuasaan penguasa darurat sipil daerah (pasal 7 ayat (5)).
Penguasa darurat sipil juga berhak menyuruh polisi menggeledah tiap tempat dengan surat perintah istimewa (pasal 14), memeriksa dan menyita barang (pasal 15), membatasi komunikasi, berita dan informasi (pasal 17), rapat umum (pasal 18), dan membatasi orang berada di luar rumah (pasal 19).
Baru Sekedar Wacana
Juru bicara presiden Fadjroel Rachman menjelaskan bahwa status darurat sipil memang bisa dijadikan instrumen agar penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berjalan efektif. Namun, pemerintah menjadikan status darurat sipil sebagai opsi terakhir. Menurut Fadjroel, pemerintah akan mengedepankan pendekatan persuasif melalui sejumlah kementerian atau lembaga.
Sebagai bentuk karantina kesehatan, PSBB meliputi diliburkannya sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan atau pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Kriteria dan pelaksanaan lebih lanjut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Warga yang tidak menaati aturan ini bisa dipidana paling lama satu tahun penjara, atau dikenai denda paling banyak seratus juta rupiah.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jenderal TNI (Purn) Luhut Panjaitan pun dalam video yang dirilis Kemenko Marves, Selasa (31/3/2020), mengatakan presiden juga tidak ingin terburu-buru membuat keputusan, apalagi menyangkut hal yang belum pernah dialami.
Menurutnya, dalam undang-undang tidak ada pembahasan mengenai virus ini, melainkanhanya soal bencana alam. Dan belum dapat dipastikan juga apakah COVID-19 termasuk dalam kategori bencana alam.
Indonesia Pernah Mengalami Masa Darurat Sipil
Dikutip dari berbagai sumber, status darurat sipil pernah terjadi pada masa kepemimpinan Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid dan Presiden RI ke-5, Megawati Soekarnoputri.
indonesia.go.id 2020 Merdeka.com
Namun keduanya memutuskan kondisi darurat sipil atas dasar peristiwa kerusuhan dan konflik horizontal, bukan karena pandemi penyakit.
Darurat Sipil Maluku & Maluku Utara di Masa Presiden Gus Dur
Darurat sipil pada masa jabatan Presiden Abdurrahman Wahid, bertempat di Maluku dan Maluku Utara pada 27 Juni 2000. Keputusan menetapkan darurat sipil diambil Gus Dur, setelah konflik etnis-politik yang melibatkan agama di kepulauan Maluku, khususnya Ambon dan Halmahera.
Konflik yang berawal pada Januari 1999 itu melibatkan umat Kristen dan Islam. Konflik yang berkepanjangan lalu berujung pada tindak kekerasan terhadap warga sipil oleh kedua belah pihak.
Melalui Keputusan Presiden Nomor 88 tahun 2000, secara resmi presiden RI Abdurrahman Wahid menyatakan wilayah Maluku dan Maluku Utara berada dalam status darurat sipil. Situasi ini berjalan kurang lebih selama tiga tahun.
Pada 15 September 2003, status darurat sipil dicabut oleh Megawati Soekarnoputri. Pencabutan status darurat sipil berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 71 tahun 2003. Keputusan ini diambil menyusul situasi di Maluku Utara yang dinilai sudah kondusif.
Darurat Sipil di Aceh pada Masa Megawati Soekarno Putri
Darurat sipil kedua terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), pada 19 Mei 2004. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 43 tahun 2004, presiden RI Megawati Soekarnoputri mengubah status darurat militer yang sebelumnya disandang Aceh menjadi tingkatan keadaan darurat sipil.
Liputan6.com/Putu Merta Surya Putra
Kebijakan tersebut merupakan hasil Sidang Kabinet Terbatas yang dipimpin Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara, Jakarta, Selasa (18/5). Darurat sipil diturunkan untuk melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu menggantikan Megawati mengeluarkan perintah untuk memperpanjang masa darurat sipil pada 19 November 2004.
Hal ini dikarenakan situasi di Nanggroe Aceh Darussalam belum mengalami perubahan yang sigifikan. Keputusan itu berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 2 tahun 2004 tentang perpanjangan keadaan bahaya dengan tingkatan keadaan darurat sipil di NAD.
Perlukah Darurat Sipil untuk Atasi Corona
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyatakan pemerintah akan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBS) sebagai respons kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat. Kebijakan ini sudah sesuai dengan UU Kekarantinaan Kesehatan.
Kebijakan PSBS berbeda dengan karantina wilayah, yang mewajibkan pemerintah bertanggung jawab atas kebutuhan hidup orang banyak, termasuk makanan hewan ternak, selama masa pembatasan sosial. PSBS tidak mengatur soal kewajiban pemerintah atas kebutuhan hidup semua orang.
PSBS menjalankan aksi minimalisir seperti peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, dan pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Dan menilik pandemi global COVID-19 adalah sebuah kondisi bencana penyakit atau bencana kesehatan, status darurat sipil tidak benar-benar perlu dijadikan sebuah opsi.
(mdk/edl)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Informasi Jokowi terima dari Menkes, kasus Covid-19 masih dalam kondisi yang baik meski memang ada kenaikan.
Baca SelengkapnyaPada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus pertama virus Covid-19, menandai awal dari pandemi yang memengaruhi seluruh masyarakat.
Baca Selengkapnyavideo untuk kamu.
Budi juga menganjurkan masyarakat untuk kembali menggunakan masker saat mengakses tempat-tempat yang rawan.
Baca SelengkapnyaTujuannya untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.
Baca SelengkapnyaPresiden Jokowi telah mencoblos surat suara Pemilu 2024 di TPS 10 RW 02 Kelurahan Gambir
Baca SelengkapnyaSomasi pertama dikirim oleh Koalisi Masyarakat Sipil pada tanggal 9 Februari 2024.
Baca SelengkapnyaPDIP juga meminta isu pemakzulan terhadap Jokowi ini bisa segera direspons agar tak menimbulkan gerakan yang lebih besar lagi.
Baca SelengkapnyaPresiden Joko Widodo melantik dua menteri baru pada Rabu, 21 Februari 2024.
Baca Selengkapnya