Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Bermula dari Isu Pengeras Suara di Al-Aqsa, Israel Kembali Bombardir Gaza

Bermula dari Isu Pengeras Suara di Al-Aqsa, Israel Kembali Bombardir Gaza Salat Idulfitri di Kompleks Masjid Al-Aqsa. ©REUTERS/Ammar Awad

Merdeka.com - Dua puluh tujuh hari sebelum roket pertama ditembakkan dari Gaza pekan ini, sekelompok pasukan polisi Israel memasuki Masjid Al-Aqsa di Yerusalem, menyuruh petugas yang merupakan warga Palestina minggir dan berjalan melintasi halaman batu kapurnya yang luas. Lalu mereka mencabut kabel pengeras suara yang menyiarkan azan dari empat menara masjid.

Itu terjadi pada 13 April malam, hari pertama bulan suci Ramadan. Itu juga merupakan Hari Peringatan di Israel, untuk menghormati mereka yang berjuang membela negaranya. Presiden Israel sedang berpidato di Tembok Ratapan, situs suci Yahudi yang terletak di bawah masjid, dan pejabat Israel khawatir azan akan menenggelamkan suara pidato Presiden Reuven Rivlin.

Insiden itu dibenarkan enam pengurus masjid, tiga saksi mata. Polisi Israel tak mau berkomentar. Insiden itu hampir tidak diketahui oleh dunia luar.

Tapi melongok ke belakang, penggerebekan polisi Israel di Al-Aqsa, salah satu situs tersuci Islam, satu dari beberapa tindakan yang menyebabkan, kurang dari satu bulan kemudian, berlanjutnya perang antara Israel dan Hamas, organisasi yang menguasai Jalur Gaza, dan kekerasan sipil antara Arab dan Yahudi di seluruh Israel.

“Ini adalah titik baliknya,” kata imam besar Yerusalem, Sheikh Ekrima Sabri, dikutip dari The New York Times, Minggu (16/5).

“Tindakan mereka menyebabkan situasi memburuk.”

Situasi semakin memburuk, meluas dan berlangsung cepat daripada yang dibayangkan siapa pun. Ini menyebabkan kekerasan terburuk antara Israel dan Palestina dalam beberapa tahun terakhir - tidak hanya dalam konflik dengan Hamas, yang telah menewaskan sedikitnya 145 orang di Gaza dan 12 di Israel, tetapi dalam gelombang serangan massa di kota-kota campuran Arab-Yahudi di Israel.

Ini juga menjadi pemicu kerusuhan di kota-kota di seluruh Tepi Barat yang diduduki, tempat pasukan Israel membunuh 11 warga Palestina pada Jumat. Roket ditembakkan ke Israel dari sebuah kamp pengungsi Palestina di Lebanon, mendorong orang-orang Yordania untuk berbaris menuju Israel sebagai bentuk protes, dan memimpin pengunjuk rasa Lebanon melintasi perbatasan selatan mereka dengan Israel.

Dan itu adalah hasil dari bertahun-tahun blokade dan pembatasan di Gaza, beberapa dekade pendudukan di Tepi Barat, dan puluhan tahun diskriminasi terhadap orang Arab di Israel. Hal ini disampaikan Avraham Burg, mantan ketua Parlemen Israel dan mantan ketua Organisasi Zionis Dunia.

“Semua uranium yang diperkaya sudah ada,” katanya.

“Tapi Anda membutuhkan pemicu. Dan pemicunya adalah Masjid Aqsa.”

Sudah tujuh tahun sejak konflik signifikan terakhir dengan Hamas, dan 16 tahun sejak pemberontakan besar terakhir Palestina, atau intifada.

Tidak ada kerusuhan besar di Yerusalem ketika Presiden Donald J Trump mengakui kota itu sebagai ibu kota Israel dan memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat ke sana. Tidak ada protes massal setelah empat negara Arab menormalisasi hubungan dengan Israel, meninggalkan konsensus yang telah lama dipegang bahwa mereka tidak akan pernah melakukannya sampai konflik Palestina-Israel diselesaikan.

Dua bulan lalu, hanya sedikit pihak militer Israel yang memperkirakan hal seperti ini.

Dalam pengarahan pribadi, pejabat militer mengatakan ancaman terbesar bagi Israel berada 1.000 mil jauhnya di Iran, atau di seberang perbatasan utara di Lebanon.

Ketika para diplomat bertemu pada Maret dengan dua jenderal yang mengawasi aspek administrasi urusan militer Israel di Gaza dan Tepi Barat, mereka menemukan kedua jenderal itu santai terkait kemungkinan kekerasan yang signifikan dan merayakan periode yang relatif tenang, menurut seorang diplomat senior asing. yang meminta untuk tidak disebutkan namanya agar dapat berbicara dengan bebas.

Gaza sedang berjuang mengatasi gelombang infeksi virus corona. Sebagian besar faksi politik utama Palestina, termasuk Hamas, sedang menunggu pemilihan legislatif Palestina yang dijadwalkan pada Maret, yang pertama dalam 15 tahun. Dan di Gaza, di mana blokade Israel telah berkontribusi pada tingkat pengangguran sekitar 50 persen, popularitas Hamas menyusut ketika orang-orang Palestina semakin berbicara tentang perlunya memprioritaskan ekonomi daripada perang.Suasana hati mulai berubah pada April.

Salat di Al-Aqsa untuk malam pertama Ramadan pada 13 April terjadi ketika presiden Israel, Reuven Rivlin, sedang berpidato di dekatnya.

Pimpinan pengurus masjid, yang diawasi oleh pemerintah Yordania, menolak permintaan Israel agar tidak menggunakan pengeras suara saat salat selama pidato tersebut. Permintaan Israel dinilai tidak sopan, menurut seorang pejabat urusan publik Masjid Al-Aqsa.

Jadi malam itu, polisi menggerebek masjid dan memutus kabel pengeras suara.

“Tanpa ragu,” kata Sheikh Sabri, “jelas bagi kami bahwa polisi Israel ingin menodai Masjid Aqsa dan bulan suci Ramadan.”

Perasaan identitas nasional yang bangkit kembali di antara anak-anak muda Palestina diekspresikan tidak hanya sebagai perlawanan terhadap serangkaian penyerbuan di Masjid Al-Aqsa, tetapi juga memprotes penderitaan enam keluarga Palestina yang menghadapi pengusiran paksa dari rumah mereka.

Insiden pengeras suara segera diikuti oleh keputusan polisi untuk menutup alun-alun populer di luar Gerbang Damaskus, salah satu pintu masuk utama ke Kota Tua Yerusalem. Anak muda Palestina biasanya berkumpul di sana pada malam hari selama Ramadan.

Seorang juru bicara polisi, Micky Rosenfeld, mengatakan alun-alun ditutup untuk mencegah kerumunan besar dan untuk mencegah potensi kekerasan.

Seorang juru bicara presiden membantah pengeras suara dimatikan, tetapi kemudian mengatakan mereka akan memeriksa ulang.

Sebagian besar penduduk Palestina di Yerusalem Timur, yang diduduki Israel selama perang Arab-Israel 1967 dan kemudian dianeksasi, bukanlah warga negara Israel karena pilihan, banyak yang mengatakan mengajukan kewarganegaraan akan memberikan legitimasi pada kekuasaan penjajahan Israel. Jadi mereka tidak bisa memilih.

Banyak yang merasa mereka secara bertahap diusir dari Yerusalem. Pembatasan izin bangunan memaksa mereka meninggalkan kota itu atau membangun perumahan ilegal, yang rentan digusur. Jadi keputusan memblokir orang-orang Palestina dari ruang komunal menambah diskriminasi yang dirasakan banyak orang sepanjang hidup mereka.

“Itu membuat mereka merasa seolah-olah mereka berusaha menghilangkan kehadiran kami dari kota,” ujar Majed al-Qeimari, seorang tukang daging berusia 27 tahun dari Yerusalem Timur.

“Kami merasa perlu untuk berdiri di depan wajah mereka dan menegaskan bahwa kami ada di sini.”

Bentrokan di Gerbang Damaskus memicu sejumlah pemuda Palestina mulai menyerang orang Yahudi. Beberapa mengunggah video di TikTok dan menarik perhatian publik. Orang Yahudi membalas secara terorganisir.

Pada 21 April, hanya sepekan setelah penggerebekan polisi, beberapa ratus anggota kelompok ekstrim kanan Yahudi, Lehava, berbaris melalui pusat Yerusalem, meneriakkan "Matilah orang Arab" dan menyerang orang Palestina yang lewat. Sekelompok orang Yahudi direkam menyerang sebuah rumah warga Palestina, dan lainnya menyerang pengemudi warga Palestina.

Diplomat asing dan tokoh masyarakat berusaha membujuk pemerintah Israel agar menurunkan ketegangan di Yerusalem, setidaknya dengan membuka kembali alun-alun di luar Gerbang Damaskus. Tetapi mereka menolak, menurut seseorang yang terlibat dalam diskusi tersebut yang tidak berwenang untuk berbicara di depan umum.

Netanyahu berada di tengah-tengah negosiasi koalisi setelah pemilu Maret - yang berakhir tanpa pemenang yang jelas. Untuk membentuk koalisi, Netanyahu perlu membujuk beberapa anggota parlemen sayap kanan untuk bergabung dengannya.

Salah satunya adalah Itamar Ben Gvir, mantan pengacara Lehava yang menganjurkan pengusiran warga Arab yang dianggapnya tidak setia kepada Israel, dan yang hingga baru-baru ini menggantung foto Baruch Goldstein, seorang ekstremis Yahudi yang membantai 29 warga Palestina di Hebron pada tahun 1994, di ruang tamunya.

Netanyahu dituduh menjadi kaki tangan orang-orang seperti Ben Gvir, dan mengobarkan krisis untuk mengumpulkan orang Israel di sekitar kepemimpinannya, dengan membiarkan ketegangan meningkat di Yerusalem.

“Netanyahu tidak menciptakan ketegangan antara orang Yahudi dan Arab,” kata Anshel Pfeffer, seorang komentator politik dan penulis biografi perdana menteri. “Mereka sudah ada di sini sejak sebelum Israel didirikan. Tapi selama bertahun-tahun berkuasa, dia memicu dan mengeksploitasi ketegangan ini untuk keuntungan politik berkali-kali dan sekarang telah gagal total sebagai pemimpin untuk memadamkan api ketika itu membara.”

Mark Regev, penasihat senior Netanyahu, membantah analisis itu.

“Justru sebaliknya yang benar,” kata Regev.

“Dia telah melakukan semua yang dia bisa untuk menciptakan ketenangan.”

Pada 25 April, Israel mengizinkan warga Palestina berkumpul di luar Gerbang Damaskus. Tapi kemudian ketegangan kembali dipicu rencana pengusiran paksa enam keluarga dari lingkungan Sheikh Jarrah di Yerusalem Timur.

"Apa yang Anda lihat sekarang di Sheikh Jarrah atau di Al Aqsa atau di Gerbang Damaskus adalah tentang mendorong kami keluar dari Yerusalem," kata Salah Diab, seorang pemimpin komunitas di Sheikh Jarrah, yang kakinya patah saat polisi menggerebek rumahnya baru-baru ini. Lingkungan saya baru permulaan.

Polisi mengatakan mereka merespons kekerasan para demonstran di Sheikh Jarrah, tetapi video dan gambar menunjukkan polisi sendiri yang melakukan kekerasan.

Tapi kemudian datanglah eskalasi yang paling dramatis dari semuanya: penggerebekan polisi di Masjid Aqsa pada Jumat, 7 Mei. Petugas polisi bersenjatakan gas air mata, granat kejut dan peluru berlapis karet menyerbu ke dalam kompleks masjid tidak lama sekitar jam delapan malam. Ratusan orang terluka.

Senin, 10 Mei merupakan sidang terakhir gugatan warga Sheikh Jarrah atas rencana pengusiran paksa Israel. Hari itu bertepatan dengan Hari Yerusalem, ketika orang-orang Yahudi merayakan penyatuan kembali Yerusalem.

Nasionalis Yahudi biasanya menandai hari itu dengan berbaris melalui Muslim Quarter di Kota Tua dan mengunjungi Temple Mount, situs di mana Masjid Aqsa dibangun.

Pemerintah Israel berusaha meredakan ketegangan. Sidang Mahkamah Agung dalam kasus pengusiran paksa ditunda. Perintah melarang orang Yahudi memasuki kompleks masjid.

Tapi polisi kembali menggerebek Masjid Al-Aqsa pada Senin, 10 Mei pagi setelah warga Palestina menimbun batu untuk mengantisipasi bentrokan dengan polisi dan Yahudi sayap kanan. Untuk kedua kalinya dalam tiga hari, granat setrum dan peluru karet ditembakkan ke seluruh kompleks, dalam adegan yang disiarkan ke seluruh dunia.

Pada menit-menit terakhir, pemerintah mengalihkan pawai Hari Yerusalem dari Muslim Quarter, setelah menerima pengarahan intelijen tentang risiko eskalasi jika terus berlanjut.

Tapi semua terlambat. Pada saat itu, Tentara Israel sudah mulai memerintahkan warga sipil untuk menjauh dari perbatasan Gaza.

Sesaat setelah jam 6 sore, pada hari Senin, tembakan roket dari Gaza dimulai.

(mdk/pan)
ATAU
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP