Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Bergaung ke Seluruh Dunia, Kematian George Floyd Jadi Harapan Revolusi Rasial Amerika

Bergaung ke Seluruh Dunia, Kematian George Floyd Jadi Harapan Revolusi Rasial Amerika Aksi Protes Kematian George Floyd. ©2020 AFP

Merdeka.com - Pembunuhan George Floyd sangat mengejutkan. Menjadi terkejut adalah hak istimewa yang tidak dimiliki warga Afrika-Amerika.

Seseorang berkulit hitam dibunuh oleh seorang perwira polisi di Amerika lebih dari satu setiap hari. Kematian Floyd menyusul kematian Breonna Taylor, seorang teknisi medis darurat yang ditembak setidaknya delapan kali di dalam rumahnya di Louisville, Kentucky oleh polisi berpakaian preman, dan Ahmaud Arbery, terbunuh dalam konfrontasi dengan tiga orang kulit putih ketika ia tengah jogging di sekitar rumahnya di Brunswick.

Bahkan kata terakhir Floyd menjadi begitu akrab, kata-kata yang sama yang diucapkan Eric Garner di sudut jalan Staten Island pada tahun 2014: "Saya tidak bisa bernapas."

Namun kekejaman yang menyebabkan kematian Floyd, terekam dalam video mengerikan yang menunjukkan seorang perwira polisi Minneapolis putih Derek Chauvin dengan santai berlutut di leher korban, telah memacu pemberontakan nasional.

Sejak Floyd meninggal pada 25 Mei, demonstrasi pecah di sejumlah kota di seluruh AS ketika para aktivis bersatu menuntut keadilan rasial. Sebagian besar unjuk rasa berjalan damai, dengan tuntutan sederhana yang ditulis tangan pada potongan karton. "Cukup sudah." "Berhentilah membunuh kami." "Keadilan untuk George Floyd."

Tuntutan itu menggema ke seluruh dunia, menghasilkan ekspresi solidaritas dari Eropa sampai Selandia Baru.

Kemarahan dan Kecemasan Terpendam

Protes juga telah memicu kerusuhan sipil di Amerika pada skala yang tidak pernah terjadi sejak pembunuhan Martin Luther King Jr pada tahun 1968. Para pengunjuk rasa membakar sebuah kantor polisi di Minneapolis, membakar mobil polisi di Los Angeles dan Atlanta. Pada 2 Juni, pasukan Garda Nasional dikerahkan di sekitar 28 negara bagian, dan puluhan kota telah memberlakukan jam malam untuk menghentikan penjarahan, pembakaran, dan meluasnya kekerasan.

Polisi militer membubarkan kerumunan, menembakkan peluru karet ke arah wartawan dan memukuli warga yang berunjuk rasa secara damai dengan menggunakan hak Amandemen Pertama sebagai dalih tindakannya.

Selama 2,5 bulan, Amerika telah dilumpuhkan oleh wabah, jalanannya sepi. Sekarang energi dan kecemasan yang terpendam dan kemarahan telah tumpah.

Covid-19 mengungkapkan ketidakadilan rasial yang lebih luas di negara ini. Sekitar 13 persen populasi AS adalah Afrika-Amerika. Tetapi menurut data CDC, 22 persen dari mereka terinfeksi Covid-19, dan 23 persen dari mereka yang meninggal karena penyakit ini adalah warga kulit hitam.

Sekitar 44 persen orang Afrika-Amerika mengatakan mereka kehilangan pekerjaan atau kehilangan upah rumah tangga, dan 73 persen mengatakan mereka kekurangan dana darurat untuk menutupi pengeluaran, menurut Pusat Penelitian Pew.

Trump dan Supremasi Kulit Putih

Jika video kebrutalan polisi dan virus corona dalah kayu bakar, Donald Trump menyediakan bahan bakarnya. Sejak awal masa jabatannya, Trump telah mengubah Kantor Oval menjadi instrumen perpecahan ras, etnis dan budaya. Trump seorang yang berpihak pada gerakan supremasi kulit putih, saling serang dengan para pemain NFL yang memprotes kebrutalan polisi, menghina negara-negara Afrika, dan mengatakan kepada para perempuan anggota Kongres Amerika kulit berwarna untuk "pulang" ke negara asal nenek moyang mereka.

Ketika demo kematian Floyd meluas,Trump menyebut demonstran sebagai "preman," mengancam mereka dengan "anjing galak" dan meminjam frase yang dipopulerkan oleh kepala polisi Miami Walter Headley pada tahun 1967: "Ketika penjarahan dimulai, penembakan dimulai."

Gerakan untuk keadilan rasial bisa dikatakan merupakan kisah terbesar di Amerika sebelum Trump muncul. Black Lives Matter dimulai ketika sebuah seruan protes dan berkembang menjadi kekuatan politik: para aktivis memenangkan gugatan dan membentuk kebijakan federal, menebar pesan mereka di kampus-kampus dan budaya populer, dalam legislasi dan platform presidensial.

Hal tersebut belum cukup, tetapi itu adalah kemajuan, dan bagi banyak aktivis, Trump terlihat seperti respons orang Amerika kulit putih.

"Trump dipilih sebagian karena Black Lives Matter menang," kata Jessica Byrd dari Movement for Black Lives.

"Trump adalah hukuman kita."

Polisi Bermasalah

Dari 2015 hingga 2019, menurut statistik yang dikumpulkan Washington Post, polisi menembak dan membunuh 962 hingga 1.004 orang Amerika setiap tahun. Orang kulit hitam Amerika hampir tiga kali lebih mungkin dibunuh oleh polisi kulit putih, menurut basis data Pemetaan Kekerasan Polisi.Pembunuhan terus berlanjut tahun ini.

"Saya percaya bahwa kami telah bekerja selama empat tahun terakhir untuk kembali ke ring (pertarungan politik) dengan Trump," kata Byrd.

"Dan saya sangat yakin kami akan menang."

George Floyd meninggal pada sore hari di Memorial Day, di luar toko kelontong Cup Foods di East 38th Street dan Chicago Avenue di Minneapolis Selatan. Floyd membeli sebungkus rokok dan diduga membayar dengan uang kertas palsu sebesar USD 20 palsu. Tiga mobil patroli berkumpul untuk menangkapnya ketika ia duduk di kursi pengemudi sebuah SUV Mercedes biru.

Derek Chauvin adalah yang terakhir tiba. Sejak bergabung dengan kepolisian Minneapolis pada tahun 2001, Chauvin telah menjadi subjek sedikitnya 17 orang yang melakukan pengaduan, hampir semuanya ditutup tanpa disiplin, menurut catatan kota.

Dia terlibat dalam setidaknya tiga kasus di mana seorang petugas polisi menembak seorang warga sipil. Salah satu petugas lain yang terlibat dalam penangkapan Floyd, Tou Thao, adalah subjek setidaknya enam pengaduan, lima di antaranya tidak menghasilkan disiplin (satu masih dalam penyelidikan). Pada 2017, Thao digugat di pengadilan federal karena menggunakan kekerasan berlebihan atas tuduhan bahwa ia memukuli seorang tersangka selama penangkapan.

Chauvin dan Thao hanyalah permulaan. Tinjauan terhadap catatan federal dan kota mengungkapkan gambaran impunitas yang lebih luas di dalam Departemen Kepolisian Minneapolis. Sebuah laporan tahun 2015 oleh Departemen Kehakiman AS menemukan, hanya 21 persen dari pengaduan atas polisi Minneapolis yang pernah diselidiki. Hanya 13 dari hampir 1.200 pengaduan yang diproses dari Oktober 2012 hingga September 2015 menghasilkan disiplin, menurut laporan berita setempat. Dalam sebagian besar kasus itu, petugas polisi yang bersalah dikirim untuk “pembinaan.”

Struktur disiplin tersebut lemah. Kantor departemen kepolisian melakukan peninjauan hanya dapat membuat rekomendasi kepada pimpinan, yang keputusannya sendiri dapat dibatalkan.

Selama dua dekade, pejabat federal berulang kali merekomendasikan reformasi untuk meningkatkan akuntabilitas, mengekang pelanggaran penggunaan kekuatan dan membangun kepercayaan masyarakat, menurut lebih dari sejumlah laporan pemerintah.Tetapi Minneapolis tertinggal dari sebagian besar departemen kepolisian metro lainnya dalam mengimplementasikannya.

Hasilnya terlihat jelas di jalanan. Sejak 2015, kepolisian Minneapolis telah membuat orang tak sadar dengan menindih leher seperti yang dilakukan Chauvin pada Floyd setidaknya 44 kali, menurut analisis NBC News; dalam tiga perlima dari kasus itu, subjeknya adalah warga kulit hitam. Penduduk kulit hitam sekitar sembilan kali lebih mungkin ditangkap daripada orang kulit putih karena pelanggaran tingkat rendah, menurut sebuah studi ACLU baru-baru ini.

“Orang-orang di komunitas ini sangat peduli dengan departemen kepolisian Minneapolis sejak lama,” kata Hans Lee, seorang pendeta di Calvary Lutheran Church.

"Itu mudah tersulut."

Kebrutalan polisi juga menjadikan Minneapolis sebagai lokus aktivisme keadilan rasial. Setelah 2014 pembunuhan Garner di Staten Island dan Michael Brown di Ferguson, pengunjuk rasa menduduki Mall of America dan menutup jalan raya.

Pada November 2015, setelah Jamar Clark, seorang pria kulit hitam tak bersenjata, ditembak dan dibunuh di Minneapolis Utara, pengunjuk rasa mendirikan sebuah perkemahan di luar kantor polisi terdekat selama 18 hari. Tahun berikutnya, setelah Philando Castile ditembak di pinggiran kota Minneapolis oleh polisi selama konfrontasi yang dilakukan sebagian oleh pacarnya, para aktivis memadati rumah gubernur selama berminggu-minggu.

Seperti bagian lain Amerika, para aktivis Minneapolis menghadapi tantangan baru di bawah pemerintahan Trump. Presiden ke-45 ini telah memperburuk ketegangan antara polisi dan masyarakat di seluruh negeri, membuka beberapa langkah reformasi peradilan pidana dan keadilan utama yang diperjuangkan mantan Presiden Obama.

Jaksa Agung pertama Trump, Jeff Sessions, mengaktifkan kembali program yang memungkinkan Pentagon untuk mengirim pasukan negara bagian dan polisi lokal disertai peralatan militer seperti kendaraan lapis baja, peluncur granat, bayonet, dan pemukul. Sessions juga meningkatkan kembali program sukarela yang diciptakan Obama untuk membantu mereformasi departemen kepolisian.

Trump Pemicu Rasisme

Tak lama setelah jam lima sore pada 1 Juni, barisan sembilan truk militer yang membawa pasukan Garda Nasional dengan helm dan seragam kamuflase perlahan-lahan menuku ke halaman Gedung Putih dan menyusuri lorong sempit dekat Sayap Barat. Truk melewati tepat di bawah jendela kantor kepala staf Presiden, Wakil Presiden dan Penasihat Keamanan Nasional, dan berbelok di sepanjang garis pagar yang biasanya dipenuhi turis yang memotret di depan Portico Utara yang ikonik di gedung itu.

Trump mengancam akan mengerahkan "ribuan dan ribuan" personel militer "bersenjata berat" untuk meredam unjuk rasa. Saat dia berbicara, petugas menembakkan peluru karet dan menyemprotkan bahan kimia untuk membubarkan demonstran di luar gerbang Gedung Putih.

Tak lama kemudian, helikopter bermesin ganda UH-60 Black Hawk dan UH-72 Lakota menyapu tepat di atas garis pohon di jalan-jalan ibu kota, di mana para pengunjuk rasa berkumpul.

Bahkan sebelum kematian Floyd, hubungan ras di Amerika mengalami kemunduran. Trump telah menguatkan gerakan supremasi kulit putih yang sedang berkembang. Kekerasan berbasis kebencian mencapai titik tertinggi dalam 16 tahun pada 2018. Sekitar dua pertiga orang Amerika mengatakan kepada Pew Research Center tahun lalu bahwa ekspresi rasisme telah tumbuh lebih lazim selama masa jabatan Trump.

"Ada perang saudara yang sedang terjadi," kata Alicia Garza, salah satu pendiri Black Lives Matter.

Dua jam sebelum Trump meninggalkan Gedung Putih untuk berfoto di sebuah gereja yang terbakar, sebelum sengatan bahan kimia berbahaya melanda Lafayette Square dan barisan perwira yang menunggang kuda membubarkan demonstran aksi damai, Anya Colon berdiri di hadapan Gedung Putih, memegang poster Black Lives Matter. Neneknya berbaris di Selma, Alabama pada tahun 1965 untuk mendorong pemerintah setempat agar mengizinkan orang kulit hitam memilih.

Sekarang Colon (38), mengemudi tujuh jam dari Roma, New York, didorong oleh rasa tanggung jawab.

"Trump memicu banyak rasisme," katanya.

“Kita harus melakukan beberapa hal yang membuat perubahan. Gerakan ini telah berlangsung selama beberapa dekade. Saya harus berada di sini. Sesuatu dari dalam diri saya mendorong saya dan menarik saya ke sini."

Dia datang dengan sepupunya Iliana Arthur (41). Arthur juga memegang tanda. Bunyinya: We Matters.

(mdk/pan)
ATAU
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Terbunuhnya Mahatma Gandhi 30 Januari 1948, Berikut Sejarahnya

Terbunuhnya Mahatma Gandhi 30 Januari 1948, Berikut Sejarahnya

Mahatma Gandhi, lahir pada 2 Oktober 1869 di Porbandar, India, dikenal sebagai pemimpin revolusioner dan arsitek gerakan kemerdekaan India.

Baca Selengkapnya
4 Maret 1797: Pemerintahan George Washington Presiden Pertama Amerika Serikat Resmi Berakhir Usai 8 Tahun Menjabat

4 Maret 1797: Pemerintahan George Washington Presiden Pertama Amerika Serikat Resmi Berakhir Usai 8 Tahun Menjabat

George Washington adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah Amerika Serikat.

Baca Selengkapnya
40 Kata-Kata Ajakan Jangan Golput di Pemilu 2024, Jadi Warga Negara yang Patuh Melalui Suaramu

40 Kata-Kata Ajakan Jangan Golput di Pemilu 2024, Jadi Warga Negara yang Patuh Melalui Suaramu

Golput bukan hanya merugikan individu saja, namun berdampak pada keberlanjutan demokrasi.

Baca Selengkapnya
Kamu sudah membaca beberapa halaman,Berikut rekomendasi
video untuk kamu.
SWIPE UP
Untuk melanjutkan membaca.
Ilmuwan Ungkap di Mana Manusia Lahir dan Berevolusi untuk Pertama Kali, Ini Jawabannya

Ilmuwan Ungkap di Mana Manusia Lahir dan Berevolusi untuk Pertama Kali, Ini Jawabannya

Selama beberapa dekade, Afrika Timur dianggap sebagai tempat kelahiran spesies kita. Fosil-fosil dari Maroko menunjukkan hal yang sebaliknya.

Baca Selengkapnya
Napak Tilas Kediaman Tan Malaka, Jejak Semasa Hidup Sang Revolusioner Indonesia

Napak Tilas Kediaman Tan Malaka, Jejak Semasa Hidup Sang Revolusioner Indonesia

Kediaman salah satu tokoh revolusioner Indonesia yang tersohor ini sebagai salah satu saksi bisu ketika masa hidupnya.

Baca Selengkapnya
10 Tempat dengan Angka Kriminalitas Tertinggi di Amerika, Hati-Hati Jika Liburan ke Sana

10 Tempat dengan Angka Kriminalitas Tertinggi di Amerika, Hati-Hati Jika Liburan ke Sana

Beberapa bagian Amerika Serikat yang terkenal dengan kriminalitasnya, seperti, pencurian, perampokan, penganiayaan berat, dan seksual.

Baca Selengkapnya
AHY Dikabarkan Jadi Menteri ATR, Demokrat: Kita Doakan Bekerja dengan Baik

AHY Dikabarkan Jadi Menteri ATR, Demokrat: Kita Doakan Bekerja dengan Baik

Demokrat mengatakan, AHY sosok patriot siap menjalankan tugas dengan baik.

Baca Selengkapnya
FOTO: Aksi Emak-Emak Turun ke Jalan Mendesak Pemilu Berjalan Jujur dan Adil di Bawaslu RI

FOTO: Aksi Emak-Emak Turun ke Jalan Mendesak Pemilu Berjalan Jujur dan Adil di Bawaslu RI

Dalam aksinya mereka berorasi menyampaikan aspirasinya dan membentangkan spanduk tuntutan.

Baca Selengkapnya
Surya Paloh: Gagasan Pemikiran Negara Ini Republik Bukan Kerajaan

Surya Paloh: Gagasan Pemikiran Negara Ini Republik Bukan Kerajaan

Gagasan itu dikatakan Surya Paloh perlu dihormati.

Baca Selengkapnya